A. Akuntabilitas Publik
Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan.
Prof. Miriam Budiardjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai “pertanggung jawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu.” Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances sistem). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif (presiden, wakil presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem peradilan) serta legislatif (MPR dan DPR). Peranan pers yang semakin penting dalam fungsi pengawasan ini menempatkannya sebagai pilar keempat. Guy Peter menyebutkan adanya 3 tipe akuntabilitas yaitu : akuntabilitas keuangan, akuntabilitas administratif, dan akuntabilitas kebijakan publik.
Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang disebutnya sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggung jawaban kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal melalui rantai komando tertentu.
B. Pajak
Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Pengetian pajak menurut Prof. DR. Rachmat Sumitro,SH adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sektor pemerintah berdasarkan undang-undang, dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbale/tegen prestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum).
Dari pengertian pajak tersebut, maka dapat dipahami kalau aparat pajak selalu menggebu-gebu mengaitkan pajak dengan patriotisme dan pembangunan. Tetapi secara substansial apakah mereka yang sudah membayar pajak merupakan patriot dan pahlawan yang sebenarnya, itu masih bisa diperdebatkan. Apalagi ketika tingkat korupsi di Dirjen Pajak sudah mencapai tahap sistemik, maka jika kita membayar pajak sama artinya dengan memberi makan koruptor. Berkaitan dengan fungsi pajak maka pajak mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai sumber keuangan negara (budgetair), dan kedua sebagai fungsi pengatur (regularend). Secara sederhana fungsi budgetair berkaitan dengan pembiayaan jalannya Pemerintah, sedangkan fungsi regularend dapat digunakan untuk alat kebijakan negara dalam bidang ekonomi dan sosial seperti dalam hal redistribusi pendapatan dan alat untuk mencapai tujuan lainnya di luar keuangan seperti pengenaai pajak penjualan atas barang mewah (PPn BM).
Menurut Era Saligman ada empat Prinsip pemungutan pajak yakni Prisip fiscal, Prinsip Administrativ, Prinsip ekonomi, dan Prinsip Etika. Prinsip etika inilah yang berkaitan dengan proses akuntabilitas perpajakan di indonesia karena akuntabilitas berkaitan dengan etika atau norma seseorang dalam hal mempertanggung jawabkan perbuatan yang di perbuatnya. Prinsip etika juga berkaitan dengan akuntabilitas aparat pajak dalam menjalankan tugas sebagai petugas yang bersih dari segala kemungkinan terjadinya kasus penggelapan dan pencucia uang di Ditjen Pajak.
C. Akuntabilitas Perpajakan di Indonesia
Menurut buku pegangan anti korupsi United Nations Development Programme (UNDP), korupsi disebabkan oleh gabungan dari kekuasaan, integritas yang rendah dan kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), data wajib pajak dijamin kerahasiaannya sehingga tidak dapat diakses oleh siapapun kecuali ada ijin dari Menteri Keuangan. Implikasi dari kerahasiaan data wajib pajak adalah menjadi titik kritis/trigger point terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan kewenangan aparat pajak dalam proses pemungutan pajak dalam bentuk persekongkolan dan rekayasa yang dilakukan oleh aparat pajak dan wajib pajak yang tentu saja membawa keuntungan berupa "keringanan pajak" bagi wajib pajak, sedangkan bagi aparat pajak diperolehnya uang suap karena melakukan manipulasi data wajib pajak dengan tujuan memperkecil jumlah pajak dari yang seharusnya disetorkan. Disitulah terjadi tindak pidana korupsi dan kolusi yang mengakibatkan kerugian negara.
Mengingat pentingnya penerimaan pajak untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat juga sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi oleh aparat pajak, sangat mendesak untuk dilakukan revisi atau judicial review UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) khususnya pasal 34 yang menjadi penghambat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk dapat mengakses data Wajib Pajak dalam rangka audit secara utuh dan menyeluruh terhadap penerimaan pajak.
Akibat dari dirahasiakannya data Wajib Pajak maka akuntabilitas dan transparansi pemungutan dan penerimaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sangat tidak bisa dipertanggung jawabkan dan berpotensi bahkan telah merugikan negara dalam jumlah yang sangat materiil.
Sebagaimana disebut di atas, salah satu alasan mengapa BPK memberikan opini disclaimer pada Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) adalah karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas penerimaan pajak yang merupakan porsi terbesar dari penerimaan negara. UU No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 1983 dan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa pemeriksaan pajak oleh BPK hanya boleh dilakukan dengan ijin tertulis dari Menteri Keuangan. Dalam realita, hampir tidak pernah Menteri Keuangan memberikan ijin untuk melakukan pemeriksaan pajak. Dengan demikian, Ditjen Pajak merupakan satu-satunya instansi negara yang berada di luar jangkauan pemeriksaan BPK. Dengan demikian BPK merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan di dunia yang tidak boleh memeriksa Ditjen Pajak negaranya sendiri. Terkait dengan kasus penggelapan, pencucian uang dan korupsi penerimaan pajak oleh pegawai Ditjen Pajak gayus tambunan menjadi sangat relevan mempertanyakan kerahasiaan data wajib pajak, agar dapat diakses oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam rangka melaksanakan audit penerimaan pajak.
Contoh kasus mafia pajak gayus tambunan yang memiliki Rp. 25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang dijadikan pidana dan disita negara sisanya tidak jelas. Sebagai perbandingan gaji PNS golongan III/A dengan masa jabatan 0 sampai 10 tahun hanya berkisar Rp.2,4 juta. Remunerasi Rp 8,2 juta, dan imbalan prestasi kerja rata-rata Rp.1,5 juta, jadi total gaji per bulan adalah Rp 12,1 juta. Apapun argumentasi dan resistensi yang timbul dari langkah untuk melakukan revisi atau judicial review UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP baik dari pihak Kementerian Keuangan, Mahkamah Konstitusi, atau bahkan DPR dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan pembiaran terjadinya tindak pidana korupsi penerimaan pajak.
Kasus gayus seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk masuknya BPK mengaudit Pajak dari sisi Wajib Pajak, dengan demikian akan tercapai transparansi dan akuntabilitas penerimaan pajak. Juga tidak kalah penting adalah terungkapnya kasus mafia pajak lainnya yang bercokol dengan kuat, dan mengakar di tubuh instansi Ditjen Pajak. Terlepas dari persoalan itu, kasus yang menimpa gayus sebagai tersangka dalam penggelapan dan penyelewengan pajak mencerminkan bahwa gaji yang tinggi di tubuh birokrasi negara tidak menjadi jaminan bersihnya seseorang dari skandal suap maupun korupsi. Kita bisa melihat bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kultur masyarakat yang sulit dihilangkan di kalangan aparat negara.
Sudah saatnya lembaga hukum dan aparat pajak di Indonesia melakukan perbaikan dan reformasi birokrasi secara total. Lembaga hukum yang diharapkan menjadi pelindung dan poros utama penegakan hukum, ternyata juga tidak lepas dari skandal suap maupun korupsi. Semakin menjamurnya praktik mafia hukum dan makelar yang kasus yang menimpa aparat negara menunjukkan potret hukum di negara kita masih suram, karena dibalik beberapa kasus yang mencuat juga melibatkan aparat hukum di negeri ini. Sungguh polemik ini menjadi naif dan mencerminkan kebobrokan moral bangsa di tengah himpitan persoalan kebangsaan yang semakin berkepanjangan.
Proses meningkatkan akuntabilitas kerap berjalan lambat karena budaya organisasi besar yang sering bergonta-ganti kebijakan. Konsekuensinya, peningkatan yang simultan dari transparansi harus dilakukan untuk memberdayakan perubahan birokrasi.
D. Kesimpulan
Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010, belanja negara yang dibiayai dari penerimaan perpajakan telah mencapai 71 persen. Sebaliknya, porsi pembiayaan dari utang luar negeri kian menyusut. Betapa perpajakan kian penting— yang menunjukkan bahwa kita semakin mandiri—terlihat juga dari porsinya yang mencapai 78 persen dari keseluruhan penerimaan negara.
Semenjak tahun 2002 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah meluncurkan program perubahan (change program) atau reformasi administrasi perpajakan yang secara singkat biasa disebut Modernisasi. Adapun jiwa dari program modernisasi ini adalah pelaksanaan good governance, yaitu penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal dan terkini. Strategi yang ditempuh adalah pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada para wajib pajak. Jika program modernisasi ini ditelaah secara mendalam, termasuk perubahan-perubahan yang telah, sedang, dan akan dilakukan, maka dapat dilihat bahwa konsep modernisasi ini merupakan suatu terobosan yang akan membawa perubahan yang cukup mendasar dan revolusioner.
Untuk mewujudkan itu semua, maka program reformasi adminsitrasi perpajakan perlu dirancang dan dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif. Perubahan-perubahan yang dilakukan meliputi bidang-bidang berikut:
à Struktur organisasi
à Business process dan teknologi informasi dan komunikasi
à Manajemen sumber daya manusia
à Pelaksanaan good governance
Usaha untuk melakukan reformasi di segala bidang telah membuahkan dasar-dasar perubahan di bidang manajemen pemerintahan. Hal tersebut antara lain diwujudkan dalam TAP MPR No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN dan UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang bersih dari KKN, yang menegaskan tekad bangsa Indonesia untuk senantiasa bersungguh-sungguh mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan Negara yang mempunyai dua tugas pokok yaitu penyelenggaraan pemerintahan umum dan tugas pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance. Dan untuk dapat mencapai penyelenggaraan pemerintahan Negara yang memenuhi kriteria good governance tersebut, diperlukan adanya pengawasan, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Internal auditor yang berwibawa dan profesional harus mampu memberikan tindakan-tindakan preventif untuk mencegah terjadinya KKN di lingkungan entitasnya
Jika kasus mafia hukum dan makelar kasus tidak segera diselesaikan secara tuntas dan akuntabel, maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum dan aparat pajak akan semakin tercemar dan buram. Kita bisa melihat dengan jelas bahwa skandal mafia hukum dan makelar kasus yang menimpa lembaga peradilan secara umum, tidak saja mempengaruhi citra mereka sebagai penegak hukum, tetapi juga berpotensi serius terhadap masa depan pembangunan bangsa ke depan. Jika citra penegak hukum kita semakin buram, maka akan terjadi apa yang kita sebut sebagai krisis kepercayaan masyarakat.
Krisis kepercayaan dapat dipahami sebagai bentuk kegagalan penegak hukum dalam membina kader-kadernya yang memiliki kredibilitas dan integritas. Sebagai bentuk kegagalan, penegak hukum seharusnya memiliki kesadaran dan kedewasaan politik, bahwa dalam menegakkan keadilan yang benar dan sehat harus diimbangi dengan kemampuan membangun kepercayaan kepada publik.
No comments:
Post a Comment