Saturday, December 18, 2010

Manajemen

Pengertian dan Definisi
Manajamen berasal dari bahasa Italia Maneggio yang sebenarnya berasal pula dari bahasa Latin Maneggiare dari kata Manus yang berarti tangan. Secara etimologi manajemen berasal dari katan Manage yang berarti memimpin dan mengawasi. Sehingga penegertian manajemen tersebut dapat diartikan sebagai tindakan atau seni pengurusan, mengatur, mengarahkan dan mengawasi.
Pengertian menurut John D. Millet dalam bukunya Management in Public Service manajemen adalah proses dan pemberian fasilitas kerja dari organisasi kepada orang – orang dari kelompok formal untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Menurut H. Koontz dan O’Donnel dalam bukunya Principles of management , manajemen adalah berhubungan dengan pencapaian sesuatu yang dilakukan melalui dan dengan orang lain. Menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management, manajemen adalah suatu proses yang membedakan atas perencanaan dengan memanfaatkan baik ilmu maupun seni agar dapat menyelesaikan tujuan yang yang telah ditetapkan sebelumnya.

Unsur, Proses/Fungsi Manajemen
1. Organisasi
Adalah kelompok manusia yang dapat dikenal yang menyumbangkan usahanya terhadap tercapainya suatu tujuan. Organisasi sebagai sutau proses penataan, pengaturan, penyusunan usaha kerja sama dengan jalan mengelompokkan pekerjaan yang herus dilakukan, membagi tugas, menetapkan wewenang serta menyusun jalinan kerja diantara orang-orang tersebut.
2. Manajemen
Manajemen adalah aktifitas menggerakan segenap orang dan mengarahkan semua fasilitas yang ada untuk mencapai tujuan tertentu.
3. Komunikasi
Adalah sutau proses tentang penyampaian berita dari sumber ke suatu tujuan tertentu dalan rangkaian proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu.
4. Kepegawaian
Kepegawaian merupakan rangkaian kegiatan mengatur dan mengurus penggunaan tenaga kerja yang diperlukan.
5. Keuangan
Adalah rangkaian mengelolah dari segi pembiayaan sampai dengan pertanggungjawaban keuangan dalam usaha kerja sama
6. Perbekalan ( materiil )
Adakalanya perbekalan disebut materiil, perlengkapan, logistik, peralatan dan lainnya. Perbekalan adalah suatu proses mengurus barang-barang mulai dari menentukan perkiraan, menyediakan, mengatur pemakaian, pemeliharaan sampai dengan penyingkiran barang yang tidak digunakan lagi
7. Tata usaha
Adalah rangkain kegiatan menghimpun, mencatat, mengolah, mengadakan, mengirim dan menyimpan keterangan yang diperlukan dalm usaha kerja sama.
8. Perwakilan / hubungan masyarakat
Adalah rangkaian kegiatan menciptakan hubungan baik dan dukungan dari masyarakat sekeliling terhadap usaha kerja sama antara organisasi yang satu dengan yang lainnya.

Proses/Fungsi Manajemen
Pengertian proses berarti serangkaian tahap kegiatan mulai dari menentukan sasaran sampai berakhirnya sasaran atau tujuan, sedangkan fungsi adalah tugas atau kegiatan. Akan tetapi antara proses dan fungsi mempunyai pengertian yang sama.
Proses/fungsi manajemen menurut para hali sebagai berikut :
Willian H. Newman menyebut The Work of Administrastor/Manager (pekerjaan seorang manajer) dibagi menjadi 5 proses dengan istilah POASCO :
• Planning ( perencanaan )
• Organizing ( pengorganisasian )
• Assembling Resources ( Pengumpulan sumber )
• Supervising ( pengendalian kerja )
• Controlling ( pengawasan )
Dalton E. Mc. Farland menyebut fungsi pimpinan adalah POCO :
• Planning ( perencanaan )
• Organizing ( pengorganisasian )
• Controlling ( pengawasan )
F. W. Taylor menyebut fungsi manajer dengan istilah PDO :
• Planning ( perencanaan )
• Directing ( pembinaan kerja )
• Organizing work ( mengatur pekerjaan )
George R. Terry menyebut proses manajemen dengan sebutan POAC :
• Planning ( perencanaan )
• Organizing ( pengorganisasian )
• Actuating ( penggerakan pelaksanaan )
• Controlling ( pengawasan )

Sarana Manajemen
Sarana-sarana manajemen dikenal dengan istilah 6 M sebagai berikut :
1. Man ( manusia )
Manajemen yang baik tentu membutuhkan pula manusia yang qualified yaitu mempunyai pendidikan yang baik tentang manajemen, berpengalaman, bermental dan bermoral baik
2. Money ( uang )
Uang adalah faktor yang sangat vital dalam pelaksanaan manajemen demi kelancaran proses pencapaian tujuan.
3. Material( materi )
Faktor material dalam manajemen merupakan hal yang tidak kalah penting, tanpa adanya material yang memadai maka akan menghambat kegiatan administrasi
4. Method ( cara kerja )
Metode atau cara kerja dalam rangka pelaksanaan kegiatan diusahakan agar metode tersebut dilakukan dengan usaha agar pekerjaan tersebut diselesaikan dengan secepatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya dengan penggunaan material yang sedikitnya adalah penting untuk efisiensi sehingga kelancaran administrasi dapat terjamin

5. Machine ( mesin )
Mesin adalah faktor pendukung yang dibutuhkan dalam kelancaran pelaksanaan kegiatan administrasi sekaligus mempermudah dan memperlancar kegiatan manusia
6. Market ( pasar )
Pasar dari administrasi atau manajemen adalah masyarakat. Apabila dalam pelaksanaan administrasi masyarakat mendapat pelayan yang baik maka tentunya proses administrasi/manajemen juga berhasil dengan demikian sebaliknya.

Macam-Macam Analis Kebijakan Dan Analisis Kebijakan

Ada berbagai orang yang terlibat dalam analisis kebijakan, seorang anallis kebijakan haruslah orang yang independen atau tidak terikat dengan pembuat kebijakan manapun sehingga dalam menganalis sebuah kebijakan akan betul-betul dianalis sesuai dengan kebutuhan. Fokus dan perhatian analisis kebijakan antara lain :
- Mengkaji masalah dan hubungan antara masalah dan kebijakan publik tersebut.
Kebijakan yang dibuat sudah barang tentu tidak semuanya berjalan mulus dan rentan dengan adanya masalah didalamnya sehingga perlu dianalisis apa saja masalah yang timbul atas kebijakan tersebut dan solusi apa yang tepat untuk masalah tersebut. Beberapa hal dapat dilihat dari hadirnya kebijakan yang bermasalah misalnya kebijakan penggunaan tabung gas sebagai pengganti bahan bakan minyak yang mengakibatkan sekian nyawa melayang, perlu lagi dikaji apa masalahnya sehingga hal itu menimbulkan masalah, apa perlu kebijakan baru atau tetap dilanjutkan karena dalam masyarakat bom waktu itu setiap saat dapat terjadi.
- Mengkaji isi dari kebijakan
Isi dari kebijakan tetap harus dikaji sebelum betul-betul diterapkan karena tidak semua daerah, kondisi sosial masyarakat, dan kelompok tertentu menyetujui isi kebijakan, sehingga perlu sebuah kajian yang mendalam apa saja yang paling tepat dalam sebuah kebijakan.
- Mengkaji apa yang dilakukan dan tidak dilakukakan oleh pembuat keputusan dan kebijakan
Kajian terhadap apa yang dilakukan dan tidak dilakukan menjadi fenomena yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia, ketika pembuat keputusan dan kebijakan tidak melaksanakan apa yang harus dilakukan maka timbul gerakan yang menuntut agar adanya perhatian terhadap apa yang seharusnya dilakukan. Disinilah analisis kebijakan harus betul-betul menganalisis apa saja yang diperlukan sehingga dapat menjadi check and balance bagi pembuat keputusan dan kebijakan dalam melaksanakan program.
- Mengkaji konsekuensi kebijakan dari segi output dan hasilnya
Konsekuensi atas hadirnya sebuah kebijakan harus dapat dianalisis sedini mungkin sebagai langkah dalam menentukan output kebijakan yang berdampak pada kepuasan terhadap hasil dari kebijakan tersebut. Ini memungkinkan diminimalisirnya konflik atau keraguan yang timbul sebagai akibat atas lahirnya kebijakan tersebut.
Dalam konsep Harold Laswell tentang analis/ilmuwan kebijakan meliputi sejumlah peran dan tipe hal ini dikuatkan dengabn pendapat Merelman (1981:492) mengkarakteristikan sebagai berikut :
- Dokter bagi personalitas politik
- Insinyur sosial
- Pengumpul intelegensi
- Advokat kebijakan
- Mahasiswa administrasi publik
Analis kebijakan memiliki latar belakang pendidikan formal yang berbeda-beda, hal ini yang berujung pada banyaknya para analisis kebijakan di berbagai bidang mulai dari bidang sosial, ekonomi, hokum, sosiologi, geografi, ilmu lingkungan dan sebagainya. Umumnya analisis kebijakan berada pada area dimana mereka dapat dengan mudah mengkaji dan menganalisis sebuah kebijakan antara lain pada :
- Universitas bagi pada akademisi yang mengkaji masalah dan proses kebijakan.
Biasanya para akademisi ditunjuk oleh pembuat kenputusan karena dianggap mempunyai kapabilitas dan pemahaman yang cukup sesuai dengan bidang kajian dan dianggap memiliki netralitas dalam memberikan masukkan terhadap pembuat keputusan dan kebijakan;
- Institusi penelitian independent dan think-tanks;
Institusi peneliti ini biasa bersfat independen dalam mengkaji atau menganalisis sebuah kebijakan guna dijadikan masukkan bagi pembuat kebijakan untuk diadakan penyempurnaan dan perbaikan terhadap kebijakan yang ada.
- Unit dalam lembaga kebijakan
Biasa terdiri dari staff ahli yang bertanggung jawab melakukan penelitian didalam pemerintah, agen pemerintah dan lembaga publik kemudian memberikan pertimbangan dan masukkan bagi pembuat kebijakan untuk dilakukan perbaikan;
- Interest group atau kelompok kepentingan
Mereka ini biasanya mempengaruhi kebijakan dengan melakukan monitoring kebijakan kemudian memunculkan ide-ide baru yang sesuai dengan kepentingan kelompok mereka dan mengajukan kepada pembuat kebijakan sebagai alternative kebijakan yang baru;
- Partai politik
Pada partai politik pada umumnya memiliki departemen sendiri dalam organisasinya yang bertugas untuk melakukan penelitian sebuah riset kebijakan dan pembangunan yang selanjutnya akan digunakan sebagai penekan bagi pemerintah apabila dalam pelaksanaan kebijakan tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilaksanakan. Proses ini melahirkan kepentingan bagi partai politik itu sendiri baik dalam pemerintahan maupun untuk kelangsungan partainya kedepan.
- Konsultan lepas
Mereka ini tidak terikat pada lembaga manapun dan melakukan riset berdasarkan kontrak atau imbalan. Ini agak sedikit diragukan karena bisa jadi dalam proses analisisisnya tidak sesuai dengan kebutuhan oleh karena hasil analisisnya berpengaruh pada kontrak atau imbalan.

Sumber Bacaan :
Parsons, Wayne. 2006. Publik Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Kencana. Jakarta.

Pembuatan Keputusan

Pendekatan pembuatan keputusan terbagi dalam enam pendekatan dan variannya antara lain :
a. Model Elit
Model ini berpendapat bahwa kekuasaan berada pada sekelompok orang atau kelompok tertentu saja, sehingga dalam perumusan dan pembuatan keputusan mereka hanya lebih mengutamakan kepentingannya sendiri. Model ini berasal dari ilmu sosial modern yang berakar pada dua ahli asal italia Mosca dan Pareto. Marx menambahkan elitisme dalam masyarakat tidak dapat dihindari maka masyarakat tanpa kelas merupakan mitos dan demokrasi hanya sekedar pura-pura. Elitisme dalam proses kebijakan hanya akan menimbulkan perbedaan pendapat dan kecemburuan, jika hal ini benar maka ide demokrasi bahwa pemerintahan ada dalam tangan rakyat hanyalah sebuah slogan semata.
b. Pendekatan Pluralisme
Charles Lindblom dan Dahl (1950-1953) menyimpulkan bahwa proses pembuatan keputusan dibiaskan demi keuntungan pihak yang kuat dan dimanfaatkan oleh pihak yang kurang kuat. Pandangan lain muncul tahun 1960 yang berpendapat bahwa kekurangan dalam masyarakat demokrasi bisa dikurangi dan diperbaiki dengan beralih ke proses politik yang berbasis pengetahuan dimana pembuatan keputusan akan lebih rasional berdasarkan banyaknya informasi.
c. Marxisme lama dan baru
Miliband mengatakan bahwa Negara dalam masyarakat kapitalis merupakan instrument kelas penguasa yang mengatur Negara demi kepentingan kelas itu sendiri. Teori dual state menyatakan bahwa Negara dalam masyarakatkapitalis berusaha untuk menata pembuatan kebijakan agar kebijakan yang berkaitan eart dengan kepentinnngan capital dapat diatur dengan ketat dan dikonsentrasikan pada pembuatan keputusan Negara yang lebih tinggi.
d. Korporatisme
Korporatisme mengandung teori tentang masyarakat yang didasarkan pada pelibatan kelompok dalam proses pembuatan kebijakan Negara sebagai mode untuk mengatasi konflik kepentingan antar buruh dan capital. Wyn Grant mengungkapkan definisi korporatisme dengan melibatkan intermediasi dan negosiasi sebagai proses pembuatan kebijakan melalui kolaborasi organisasi.
e. Profesionalisme
Fokus utama pendekatan ini adalah bagaimana para elit professional mendapatkan kekuasaan dalam pembuatan keputusan dan dalam implementasi kebijakan didalam demokrasi liberal. Kelompok profesionalisme punya peran besar dalam mempengaruhi implementasi kebijakan. Patrick Dunleavy (1980) menyebutkan ketika berhadapan dengan kalangan professional, warga tidak akan mempengaruhi dalam pembuatan keputusan. Salah satu kasus yang dapat dimunculkan adalah kebijakan kesehatan dimana kebijakan sepenuhnya berada pada pembuat kebijakan karena pemahaman akan problem lebih dipahami oleh pembuat kebijakan seperti dikemukakan oleh R.R Alford (1975).
f. Teknokrasi
Model ini menganggap masyarakat sebagai entitas yang bergerak menuju aturan berdasarkan rasionalitas ilmiah yang merupakan ide dari para ahli seperti Cournt, Saint Simon dan Comte. Dalam tesisnya Daniel Bell mengatakan bahwa dalam masyarakat, pengetahuan mempunyai peranan yang besar karena pembuatan keputusan akan dipengaruhi oleh pengetahuan teknis yang penting untuk memahami dunia modern.

Sumber Bacaan :

Parsons, Wayne. 2006. Publik Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Kencana. Jakarta.


Agenda Kebijakan, Opini Publik Dan Kebijakan Publik

Pendekatan kebijakan adalah penelitian yang berfokus pada problem, bagaimana problem disusun dan dipikirkan, bagaimana problem itu menjadi isu dalam agenda kebijakan. Sebelum menjadi kebijakan ada sejumlah pendekatan yang digunakan yakni pendekatan problem sosial antara lain :

a. Pendekatan Positivis

Pendekatan ini berkembang awal abad 19 dan menjadi awal analisis kebijakan modern. Beberapa ahli menggunakan pendekatan ini untuk mempengaruhi pembuat kebijakan seperti Charles Booth (1840-1916) yang menggunakan sains untuk memecahkan problem sosial dengan memberikan solusi bagi masyarakat yang kurang beruntung. Karya Booth menjadi tonggak utama kebijakan di Inggris. Selain Booth ada juga Seebohm Rowntree (1871-1954) dia mendefinisikan kemiskinan dengan menggunakan istilah “garis kemiskinan”, riset Rowntree ini membuat para pembuat kebijakan menyadari adanyaproblem sosial yang berkembang didalam masyarakat sehingga akan sangat memudahkan bagi pembuat kebijakan dalam menyusun agenda kebijakan yang dibuat untuk kepentingan publik tersebut.

b. Pendekatan Sosiologis

Emile Durkheim memandang problem sebagai sesuatu yang fungsional dalam sistem sosial. Persoalannya adalah bagaimana menjaga agar tidak terjadi penyimpangan besar-besaran dalam masyarakat sehingga dapat menjadi patokan dalan menyusun hal-hal yang dapat dianggap sebagai kriteria dari suatu problem. Selain Durkheim ada juga Talcott Parsons yang menganalisis masyarakat yang cenderung ekuilibrium, dari perspektif ini problem sosial merupakan penyesuaian dan kemungkinan disfungsi dari sistem sosial.

Kebijakan berkaitan dengan pengenalan problem, bagaimana problem didefinisikan dan bagaimana para pembuat kebijakan menangani isu tersebut. Kebijakan lahir atas isu yang muncul dari publik dan diangkat sebagai agenda kebijakan yang selanjutnya akan diformulasikan.

Sesuatu yang menjadi isu menarik pembuat kebijakan terkait erat dengan isu yang berkaitan dengan opini publik, sebuah kebijakan publik lahir sudah barang tentu mempertimbangkan opini publik yang membutuhkan adanya kebijakan tersebut. Hal ini yang selanjutnya dapat dikatakan bahwa opini publik dalam dunia sosial dan politik mirip dengan permintaan konsumen dalam pasar ekonomi yang mana kegiatan ekonomi akan terjadi apabila ada suatu penawaran dan sudah barang tentu disetai dengan pembelian. Pun demikian adanya dengan pembuatan suatu kebijakan akan disertai dahulu dengan proses tawar menawar yang dalam artian kebijakan tersebut lahir dari adanya sebuah permintaan publik yang menginginkan suatu perubahan sehingga selanjutnya menjadi opini publik.

Dalam demokrasi seorang bisa mengatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu fungsi dari opini publik, ini turut mempertegas bahwa kebijakan publik adalah output atas opini publik yang lahir dari permintaan publik terhadap kebijakan sebagaimana dimaksud diatas. Argument yang menyatakan agenda kebijakan sangat dipengaruhi oleh opini publik adalah benar adanya sebab dalam penyusunan agenda setting untuk menentukan sebuah kebijakan haruslah tetap memperhatikan opini publik antara lain apa saja yang diperlukan atau menjadi faktor-faktor timbulnya permintaan terhadap kebijakan sebab kebijakan yang baik adalah kebijakan yang lahir atas permintaan dan kebutuhan masyarakat itu sehingga kekuatan publik diperkuat oleh fakta bahwa opini diukur dan diperlakukan dengan penuh perhatian oleh pembuat kebijakan sehingga akan lahir suatu kebijakan yang betul-betul diperlukan masyarakat.

Hal ini berbeda dengan Negara Prancis misalnya, disana tidak banyak perhatian terhadap opini publik, tidak ada badan pembuat undang-undang serta tidak ada komentar bebas pada Koran atau majalah (Gunn, 1989:251). Berbanding terbalik dengan Negara demokrasi yang memberikan kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan pedapat dan berinteraksi semacam Indonesia yang bebas dalam memberikan masukkan dan pengawasan langsung terhadap proses kebijakan mulai dari proses agenda setting hingga proses evaluasi terhadap sebuah kebijakan.

Tahun 1970-an muncul fokus baru terhadap dampak dari media terhadap proses politik dan hubungan antara media dengan opini publik dan kebijakan publik. McCombs dan Shaw menyimpulkan bahwa media berperan penting dalam penentuan agenda yakni mempunyai kekuatan untuk menentukan topik mana yang akan didiskusikan. Dalam proses agenda setting selain lembaga swadaya masyarakat, partai politik dan interest group, peran media sangat sentral dalam memberikan pemahaman dan masukkan terhadap isu kebijakan yang muncul dari bawah. Robert Mayer mengkaji peran media dalam dua model guna pembentukan agenda setting yakni :

1. Model satu arah (unidirectional)

2. Model banyak arah (multidirectional)

McCombs dan Shaw mengusulkan kerangka pemikiran yang menyatakan bahwa media mempengaruhi pandangan publik terhadap isu yang dianggap penting. Semakin besar perhatian yang diberikan kepada sebuah isu, semakin besar kemungkinan publik untuk menganggapnya sebagai agenda setting dan sebaliknya.

Model ini memberikan gambaran pentingnya media dalam penentuan agenda setting sebuah kebijakan, namun model ini dianggap kurang memberikan penjelasan tentang pengaruh media terhadap agenda personal dari audien artinya bahwa ada keraguan dari hubungan media dan publik dalam mengembangkan suatu isu sebab isu yang lahir oleh media sering tidak menjadi refresentasi dari keinginan masyarakat atau dengan kata lain media mengambil secara acak padahal belum tentu isu yang muncul benar-benar menjadi sebuah opini publik.

Cobb dan Elder mengungkapkan bahwa isu akan tercipta lewat beberapa kemungkinan :

1. Isu dibuat oleh partai politik berkepentingan

2. Isu dibuat untuk kepentingan personal atau kelompok tertentu

3. Isu tercipta akibat suatu peristiwa yang tak terduga

4. Isu dibuat oleh orang yang ingin perbaikan.

Model lain yang mengkaji tentang isu sebagai bagian awal dari agenda setting dan formulasi kebijakan adalah Model Downs (1972) yang membagi dalam beberapa tahap antara lain :

a. Tahap I ; pakar dan pembuat kebijakan mungkin telah menyadari problem, mungkin memiliki pengetahuan tentang problem, namun belum ada perhatian publik.

Munculnya sebuah kebijakan terkadang menjadi sebuah kontroversi untuk siapa kebijakan tersebut lahir, isu apa yang mendasarinya, dan apa impact dari kebijakan tersebut. Pakar dan pembuat kebijakan awalnya telah mengetahui hal tersebut hingga memprediksi apa saja yang harus dilakukan sesuai dengan tingkat pemahaman dan pengetahuan mereka namun adanya suatu keinginan timbale balik sehingga problem yang seharusnya telah menjadi kejian kebijakan tidak dikemukakan. Adanya interest group sangat mempengaruhi lahirnya isu kebijakan, bahwa interest group ataupun partai politik tetap mempunyai kepentingan yang besar dalam hadirnya kebijakan sehingga hal ini yang sering menjadi kendala lahirnya isu kebijakan baru.

b. Tahap II ; muncul kewaspadaan dan euphoria antusiasme

Munculnya masalah dalam publik memungkinkan munculnya desakan publik agar pemerintah melakukan tindakan yang dapat menopang adanya masalah tersebut. Down (1972) mencontohkan adanya bencana atau kejadian yang menimbulkan perhatian terhadap isu tersebut. Maka pembuat kebijakan harus menanggapi adanya isu atau opini publik tersebut untuk selanjutnya di agendakan dan diformulasikan dalam suatu kebijakan.

c. Tahap III ; menghitung biaya dan keuntungan

Hadirnya kebijakan tentu bertujuan untuk menjawab apa yang menjadi isu dari problem tersebut. Maka perhitungan terhadap biaya yang muncul akibat adanya problem dilakukan sebagai upaya perbaikan terhadap berbagai hal yang dianggap dapat menjawab kebutuhan publik.

d. Tahap IV ; penurunan perhatian terhadap isu

Bangsa yang sedang berkembang membutuhkan perhatian dan penanganan yang serius dalam proses pembangunan. Maka tidak mengherankan ketikan proses pembangunan berjalan terus menjadikan tiap saat akan muncul isu-isu baru yang mengalihkan perhatian publik terhadap isu lama. Akibatnya terjadi penuruan perhatian terhadap isu-isu lalu yang muncul dari publik. Siklus ini akan terus berputar seiring perkembangan dari waktu ke waktu.

e. Tahap V ; hilangnya perhatian.

Fase ini dinamakan pasca problem dimana isu yang muncul tidak lagi menjadi perhatian publik dan dengan hadirnya isu baru maka perlahan isu lama akan menghilang dan tidak lagi dijadikan sebagai agenda setting dan agenda kebijakan.

Sumber Bacaan :

Parsons, Wayne. 2006. Publik Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Kencana. Jakarta.

Tuesday, October 5, 2010

Kegagalan Pasar ( Tinjauan Ekonomi Politik )

Istilah kegagalan pasar tidak berarti bahwa sebuah pasar tidak lagi berfungsi. Malahan kegagalan pasar adalah situasi dimana sebuah pasar efisien dalam mengatur produksi atau alokasi barang dan jasa ke konsumen. Di sisi lain, pada konteks politik, pemegang modal atau saham menggunakan istilah kegagalan pasar untuk situasi saat pasar dipaksa untuk tidak melayani kepentingan publik, sebuah pernyataan subyektif yang biasanya dibuat dari landasan moral atau sosial.
Kegagalan pasar terjadi karena pasar bebas tidak memberikan efisiensi pada perekonomian. Penyebab terjadinya kegagalan pasar antara lain tersedianya fasilitas umum sehingga sektor swasta tidak tertarik untuk mengelolanya karena tidak mendapatkan keuntungan, persaingan tidak sempurna yang terjadi karena suatu perusahaan mengambil keuntungan dari kekuatan pasar yang dimiliki, informasi asimetris yang terjadi karena suatu perusahaan memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan perusahaan lainnya pada sektor atau industri yang sama.
Untuk mencegah terjadinya kegagalan pasar salah satunya adalah dengan campur tangan pemerintah melalui pajak dan subsidi, produksi sektor swasta, penetapan undang-undang mengenai anti-trust dan regulasi pemerintah. Namun demikian, terdapat pertentangan terhadap campur tangan pemerintah dalam mencegah terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan faktor kegagalan pemerintah yang dapat menyebabkan kegagalan pasar, penyelanggaraan fasilitas umum yang seharusnya bisa dilaksanakan oleh pihak swasta tetapi justru dilaksanakan oleh pemerintah dan terjadinya monopoli dari pemerintah
Selain itu terdapat pula empat jenis utama penyebab kegagalan pasar antara lain :
1)Monopoli atau dalam kasus lain dari penyalahgunaan dari kekuasaan pasar dimana pembeli atau penjual bisa memberi pengaruh signifikan pada harga atau keluaran.
2)Eksternalitas, terjadi dalam kasus dimana pasar tidak dibawa kedalam akun dari akibat aktivitas ekonomi didalam orang luar/asing.
3)Barang publik seperti pertahanan nasional dan kegiatan dalam kesehatan publik. Untuk menyediakan penawaran yang baik dari barang publik, negara biasanya menggunakan pajak-pajak yang mengharuskan semua penduduk untuk membayar pada barang publik.
4)Kasus dimana terdapat informasi asimetris atau ketidak pastian (informasi yang inefisien). Informasi asimetris terjadi ketika salah satu pihak dari transaksi memiliki informasi yang lebih banyak dan baik dari pihak yang lain.

What Is a Policy Analysis ?

  1. Policy analysis is a multi-element process of assessing and analyzing the components that make up the stated “policy” or plan of action. The process should include viewing the players, environmental issues, and forces that influence and/or determine the policy

  2. Policy analysis is not an exact science but rather an art. There are numerous approaches one can take within Policy analysis. One is to establish an agenda, then formulate the issues, addres alternatives, set the adoption and implementation plans, and then establish a feedback vehicle. Policy analysis deals wit formal policy and informal policy. Formal policy covers laws and regulation whereas informal policy addresses directives and standard operating procedures.

  3. Policy analysis sheds light on components/parts of an issue or problem. It provides insight as well as the data necessary to open minds to new alternative and creates the basis for informed decision making and charting a course of action.

  4. Policy analysis is the process by which governmental decision making can be explained and understood. It can help anticipate the decision. This is done through the used of techniques that enable various factors and their relative influence to be identified. There are various models that are available to do this.

  5. Policy analysis is an exploration of values of the client and hoe the affect the impacts, problems, deficiencies, and feasibility of particular policy. It is done in many different ways, using a variety of techniques. It is dependent upon environment, politics, actors, history, organizational culture, and clients.

  6. Policy analysis is the utilization of applied techniques, formal dan informal, to arrive at one recommendation for the benefit of a client based on a prescribed policy.

  7. Policy analysis is client-based. It is looking at quantifiable-quantitative data through various methodologies to create definition of the problem, assumptions, alternatives, recognition of actors, and recommendations (observing political feasibility). It moves from agenda setting to formulation to operations to implementation to evaluation.

  8. Policy analysis is a process that employs qualitative and/or quantitative techniques to describe a problem, illustrate ist impact, and present possible solutions.

  9. Policy analysis is the comprehensive, objective, and systematic assessment of political problems, possible solutions, and their means of implementation.

  10. Policy analysis is the study of numerous variables affecting an identified issue/problem and the alternatives/recommendations for solutions provided to decision makers. It produces and adequate range of alternatives to produce the best solution in light of foreseeable constraints.

  11. Policy analysis is the process of reviewing, analyzing, and measuring a policy matters as a means of devising recommendations and policy alternatives for a particular client.

  12. Policy analysis is a process that seeks to generate viable solutions to public-sector (and oftentimes nongovernmental ) problems.

  13. Policy analysis is a way or ways in which we examine, evaluate, and provide advice.

Thursday, September 30, 2010

Sulitnya Pendidikan Itu

Dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia berupa otonomi seluas-luasnya kepada papua.
Melalui otonomi khusus, Papua memiliki kewenangan yang luas, meliputi seluruh bidang pemerintahan (kecuali politik luar negeri, keamanan, moneter dan fiskal), keuangan, perekonomian, hak asasi manusia, kepolisian daerah Povinsi Papua, kekuasaan peradilan, keagamaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup, kerja sama dan penyelesaian perselisihan. Bentuk nyata dari desentralisasi politik di Papua adalah dengan ditetapkannya Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus (Otonomi khusus) bagi daerah Papua, pada 21 November 2001.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi povinsi papua dimana pada isinya mengharuskan pembangunan yang setimpal kepada daerah-daerah yang ada di provinsi papua yang masanya adalah 25 (dua puluh lima) tahun. Ada 4 (empat) sektor utama yang dijadikan sasaran dari pelaksanaan otonomi khusus itu sendiri antara lain pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan ekonomi.
Dalam penerapan kebijakan terhadap kesejahteraan rakyat perlu diperhatikan bagaimana realisasi implementasi kebijakan tersebut berdampak terhadap masyarakat, apakah dalam implementasi berjalan dengan baik atau berbanding terbalik dimana implementasi kebijakan tersebut justru dikatakan tidak berjalan dengan baik. Setelah sewindu sejak ditetapkannya UU Otsus Papua pada 2001, harus diakui bahwa telah banyak perubahan di Papua, seperti berbagai posisi politik yang dipegang oleh orang Papua asli, mulai dari jabatan gubernur, bupati dan camat di seluruh wilayah Papua. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Papua dapat diselenggarakan secara aman dan damai. Secara fisik, pembangunan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan moderen, hotel dan jalan meningkat pesat setelah pemberlakuan Otsus di Papua. Selain itu, mobilitas orang dari dan ke Papua pun semakin meningkat. Namun tidak demikian dengan masalah pendidikan yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini, dana otsus bagi pendidikan sekitar 30% yang dikucurkan belum dapat menjawab ketertinggalan pendidikan di papua dan kabupaten merauke pada khususnya, pemenuhan hak atas pendidikan sebagai pintu peradaban justru semakin merosot. Penyediaan tenaga pengajar semakin sulit ditemukan di pedalaman, sarana-prasarana amat memprihatinkan dan bahkan di berbagai kampung tidak tersedia gedung sekolah, bantuan pendidikan disalahgunakan, rendahnya angka kelulusan masyarakat asli papua, kurangnya sumber daya manusia, masalah pendidikan gratis, buta aksara, hingga rendahnya mutu pendidikan masyarakat, padahal alokasi dana otsus untuk pendidikan disediakan sekitar 30%. Kebijakan pendidikan pun belum berjalan sesuai dengan yang tertuang dalam dengan isi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Bab XVI pasal 56 tentang Pendidikan dan Kebudayaan yang berbunyi :
  1. Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua.
  2. Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan Pemerintah Provinsi.
  3. Setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.
  4. Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi Papua.
  5. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat memberikan bantuan dan/atau subsidi kepada penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan.
  6. Pelaksanan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) ditetapkan dengan Perdasi.
Dengan pendidikan yang bermutu dimaksudkan bahwa pendidikan di Provinsi Papua harus dilaksanakan secara baik dan bertanggung jawab sehingga menghasilkan lulusan yang memiliki derajat mutu yang sama dengan pendidikan yang dilaksanakan di provinsi lain. Mengingat masih rendahnya mutu sumber daya manusia Papua dan pentingnya mengejar kemajuan di bidang pendidikan, maka pemerintah daerah berkewajiban membiayai seluruh atau sebagian biaya pendidikan bagi putra putri asli Papua pada semua jenjang pendidikan. Sejak bergulir pada tahun 2001 memang beberapa pembangunan nyata telah direalisasikan, akan tetapi itu dirasa hanya merupakan kewajiban pemerintah semata. Kebijakan pemerintah dalam hal memajukan, memberdayakan, memasyarakatkan penduduk atau masyarakat setempat belum sepenuhnya berjalan mulus. Masyarakat belum tau apa itu arti otonomi khusus, bagaimana bentuknya dan apa saja bentuk nyata bagi masyarakat. Otonomi masih lebih banyak hanya berputar pada mereka yang membuat kebijakan, mereka yang mengelolah bahkan berdampak pada adanya praktek KKN atas hak masyarakat tersebut. Warga lokal belum mendapat prioritas dalam pembangunan sehingga dapat dikatakan warga lokal bahkan menjadi penonton atas apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bagi warga lokal hanya sebatas sebuah fenomena yang biasa saja dan tidak menjadi sebuah maha karya yang seharusnya dinikmati.
Beberapa faktor turut berperan dalam terciptanya suasana ini antara lain factor pendidikan yang kurang dari masyarakat serta ekonomi yang kurang mendukung. Kolaborasi antara minimnya mengecap dunia pendidikan sangat berpengaruh kepada kurangnya perhatian mereka terhadap dunia pendidikan, pendidikan hanya menjadi sampingan semata disaat warga lebih memilih untuk mencari nafkah dengan berburu, nelayan, menanam untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ironisnya anak-anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah malah harus turut berpartisipasi bersama orang tua mereka memenuhi kebutuhan ekonomi mereka sehari-hari yang pada akhirnya yang terjadi adalah minimnya atau terbatasnya sumber daya manusia akibat keterbatasan pendidikan. Ketika keadaan tersebut terjadi akan muncul pertanyaan kemana kebijakan pendidikan diarahkan dan sejauh mana implementasi kebijakan pendidikan tersebut terutama kepada masyarakat sebagai sasaran pelaksanaan otonomi khusus tersebut.
Keterbatasan sumber daya manusia dan pendidikan yang ada dipapua disebabkan karena beberapa faktor antara lain :
  • Kesadaran masyarakat untuk melanjutkan pendidikan sangat rendah;
  • Keterbatasan membuat mereka yang tidak mempunyai biaya tidak dapat melanjutkan studi;
  • Kurangnya tenaga pendidik yang benar-benar siap mengabdi;
  • Faktor budaya yang bersifat tertutup turut membuat masyarakat enggan melanjutkan studi.
Masalah muncul ketika sumber daya tidak tersedia karena masalah pendidikan yang terbelakang, maka pemerintah daerah memegang peran yang penting dalam usaha memajukan atau mengembangkan pendidikan masyarakatnya agar dapat menjawab tantangan pembangunan tersebut. Masalah di atas tentu menjadi sebuah pekerjaan berat bagi pemerintah daerah dalam memajukan pendidikan tentunya, mengingat masalah pendidikan memang menjadi sebuah masalah yang tidak ringan dengan kondisi papua yang sangat beraneka ragam apalagi umur otsus semakin hari semakin mendekat habis masa ‘kontraknya’ di bumi papua, maka tentunya diperlukan strategi dari pemerintah daerah dalam memajukan pendidikan sebagai bentuk implementasi dari otonomi khusus.

(dari berbagai sumber bacaan).

Salam.

Saturday, June 19, 2010

Teori George C. Edward III

George C. Edward III (1980) mengemukakan beberapa Variabel yang mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan, yakni :
(1) Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
(2) Sumberdaya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.
(3) Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
(4) Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Lagu Kei "WATAT"

NEN NEN O DEN BE O, NEN NEN O DEN BE O TANAT NA HU DANG BO NA EN SAR O NEN O MATAM DAN BE O, NEN O MATAM DAN BE O UM VAL WAHAM DO FO MLI...