Tuesday, February 23, 2010

Tertawa Merupakan Obat Penawar Sakit


Majalah itu terletak di rak dekat tempat pembayaran toko pangan. Karena antreannya panjang, aku menarik majalah tersebut dan membaca sepintas lalu halaman-halamannya, kemudian berhenti pada sebuah artikel yang membahas tentang kekuatan tertawa sebagai penyembuh. "Yang benar saja,"gumamku, menutup majalah itu dan meletakkannya kembali di rak. Aku merasa sedikit tidak enak badan dan lelah, dan merasa tidak nyaman selama berhari-hari. Tidak ada yang serius-aku hanya merasa tidak nyaman dengan diri sendiri. Kalender di mejaku menunjukkan bulan Januari, bulan yang terkenal akan kesensitifan dan kemuramannya, yang satu menyebar ke lainnya. Aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku terserang keduanya, dan hal terakhir yang ingin aku dengar sekarang adalah beberapa dokter menyarankan aku untuk mulai tertawa.
Hari ini aku tidak ada waktu menuruti rasa sakitku. Meskipun tubuhku memprotes, aku meninggalkan toko itu dan berjalan menembus dinginnya malam di musim dingin demi memenuhi janji yang telah kubuat dengan keluarga Johnson, anggota keluarga baru dalam gereja kami yang ingin disambut secara pribadi oleh komite layanan jarak jauh. Ini merupakan tugas pertamaku sebagai jemaat gereja selain menjadi anggota paduan suara, jauh di barus belakang. Mengunjungi rumah orang yang tidak dikenal dan berbincang-bincang tentang Gereja? Wuih, kenapa aku tidak menjadi sukarelawan yang berdiri di depan seluruh jemaat dan berpidato saja? Yang bisa menghilangkan semua ketakutan sekaligus fobiaku.
Ini benar-benar gila, pikirku sendiri saat memandang tajam kegelapann lewat kaca depan mobilku. Mungkin aku bisa mendahuluinya dengan cepat. Selain cemas (dan sedikit tidak enak badan), aku juga sedikit tersesat. Jalanan di pedesaan Wisconsin menjadi simpang-siur dalam kegelapan saat aku berjuang membaca nomor bangunan yang ditancapkan di parit, dan rambu-rambu jalan diselimuti tumpukan salju. Ketika akhrnya aku tiba, seorang pria tua melihat melalu jendela besar saat aku masuk ke halaman, dan ia menunggu di pintu untuk menyambutku. "Hai! Aku Bu Pennington," seruku sewaktu keluar dari mobil. "Aku kemari ingin berbincang-bincang dengan Anda dan istri Anda tentang perasaan kalian akan segala sesuatu yang menyangkut Gereja. Kami ingin mengetahui apakah kalian punya pertanyaan atau saran. "Masuklah," ia menawarkan. "Sayang," ia mempersilahkan aku masuk," Ada Bu Pennington di sini. Katanya ia ingin berbincang-bincang dengan kita soal Gereja.
Dengan mengikutinya, aku masuk ke dapur pertanian yang besar, tempat istrinya sedang membuat sambal dan memanggang sejumlah kue. Aroma yang menggoda memenuhi ruangan di dalam dapur yang lapang itu, dan tiba-tiba perasaan lelahku berkurang."Aku harus tetap bekerja di sini," ia meminta maaf,"tapi jika Anda duduk di meja itu, kita masih tetap bisa berbincang-bincang." Tak lama kemudian tersaji di depanku sepiring kue, segelas tinggi susu, dan semangkuk sup. Hmmm...bagaimana bisa "tugas penyambutan" ini tiba-tba tersedia? Satu gigitan kue buatan sendiri yang masih hangat dan baru keluar dari oven, dan aku baik-baik saja.
Kecanggungan karena menjadi seorang asing telah sirna, dan kecemasanku telah mencair. Karena mereka berdua merasa semua hal di gereja "baik-baik saja", kami menghabiskan sebagian besar waktu kami-beberapa jam kunjungan-membicarakan kehidupan secara umum sampai kemudian teman "lama"ku yang baru mengantarkan aku ke pintu dan mengucapkan selamat malam dengan ramah. Sebuah tugas yang semula kupikirkan menakutkan.
"Terima kasih atas semuanya, Bapak dan Ibu Johnson," jawabku. "Benar-benar pengalaman yanng luar biasa."
Masih berdiri di depan pintu masuk, ekspresi muka mereka perlahan berubah dari tersenyum menjadi sedikit kebingungan.
"Bapak dan Ibu Johnson?" ujar mereka serempak. "Kami keluarga Hanovers. Bapak dan Ibu Johnson tinggal di ujung jalan nomor 1881. Nomor rumah kami 1887."
Kami bertiga berdiri tanpa kata, tak seorangpun yang tahu apa yang harus diucapkan saat itu. Dan, karena tak satu pun dari kami bisa memecahkan kesunyian itu, kami semua hanya tertawa- benar-benar histeris yang membuat badan sampai membungkuk dan pipi terasa sakit. Apa yang baru saja terjadi di sini? Selama dua jam aku duduk di rumah yang salah, membicarakan gereja yang mereka kira gereja mereka-St.Lucas Lutheran-padahal sebenarnya yang dimaksud adalah gerejaku, Peace United.
Berkendara pulang dengan masih tertawa, aku merasa luar biasa. Benar-benar luar biasa! Jadi, aku melakukan dua kunjungan terakhir: pertama ke tempat keluarga Johnson, untuk melakukan kunjungan gereja, dan yang terakhir ke toko makanan. Ada majalah yang ingi kubeli, dan ada sebuah artikel yang ingin kubaca sampai selesai.

Rochelle Pennington.
(disadur dari kisah-kisah inspirasional DON'T SWEAT STORIES belajar tidak meributkan masalah kecil) Richard Carlson, Benicia California, Maret 2002.

Salam.

No comments:

Lagu Kei "WATAT"

NEN NEN O DEN BE O, NEN NEN O DEN BE O TANAT NA HU DANG BO NA EN SAR O NEN O MATAM DAN BE O, NEN O MATAM DAN BE O UM VAL WAHAM DO FO MLI...