Saturday, June 19, 2010

Model Formulasi Kebijakan

Model – Model Formulasi Kebijakan Publik menurut Thomas R. Dye (dalam Nugroho,2003:108) dibagi dalam sembilan model formulasi sebagai berikut :

1. Model Kelompok :

Model pengambilan kebijakan teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan ( equilibrium ). Inti gagasannya adalah interaksi didalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan, dan kesimbangan adalah yang terbaik. Disini individu didalam kelompok-kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, secara langsung atau melalui media massa menyampaikan tuntunnya kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Disini peran politik adalah untuk memenejemi konflik yang muncul dari adanya perbedaan tuntutan melalui :

1. Merumuskan aturan main antar kelompok kepentingan;

2. Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan;

3. Memungkinkan terbentuknya kompromi didalam kebijakan publik yang akan dibuat;

4. Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.

Model teori kelompok sesungguhnya merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan yang didalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif.

2. Model Kelembagaan :

Formulasi kebijakan model kelembagaan secara sederhana bermakna bahwa tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Jadi apapun yang dibuat oleh pemerintah dengan cara apapun adalah kebijakan publik. Ini adalah model yang paling sempit dan sederhana didalam formulasi kebijakan publik. Model ini mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari pemerintah, disetiap sector dan tingkat didalam formulasi kebijakan.

Ada tiga hal yang membenarkan pendekatan ini yaitu bahwa pemerintah memang sah membuat kebijakan publik, fungsi tersebut bersifat universal dan memang pemerintah memonopoli fungsi pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama.

Model kelembagaan sebenarnya merupakan derivasu atau turunan dari ilmu politik tradisional yang lebih menekankan struktur dari pada proses atau perilaku politik. Proses mengandaikan bahwa tugas lembaga-lembaga pemerintah yang dilakukan secara otonom tanpa berinteraksi dengan lingkungannya. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terabaikannya masalah-masalah lingkungan dimana kebijakan itu diterapkan.

3. Model Elit :

Model teori elit berkembang dari teori politik elit-massa yang melandaskan diri pada asumsi bahwa didalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok yaitu pemegang kekuasaan atau elit dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori ini mengembangkan diri pada kenyataan bahwa sedemokratis apapun selalu ada bias didalam formulasi kebijakan karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elit.

Ada dua penilaian didalam pendekatan ini negative dan positif. Pada pandangan negative dikemukakan bahwa pada akhirnya didalam sistem politik pemegang kekuasaan politiklah yang menyelenggarakan kekuasaan sesuai dengan selera dan keinginannya. Dalam konteks ini rakyat dianggap sebagai kelompok yang dimanipulasi sedemikian rupa agar tidak masuk dalam proses formulasi kebijakan. Pemilihan umum pun bukan bermakna partisipasi melainkan mobilisasi.

Pandangan positif melihat bahwa seseorang elit menduduki puncak kekuasaan karena berhasil memenangkan gagasan membawa negara-bangsa ke kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. Pemimpin atau elit pasti mempunyai visi tentang kepemimpinannya dan kebijakan publik adalah bagian dari karyanya untuk mewujud nyatakan visi tersebut menjadi kenyataan.

Tidak ada yang secara mutlak keliru karena ini hanya masalah preferensi dari visi elit serta tentang bagaimana tujuan atau cita-cita bangsa yang sudah disepakati akan dijalani melalui jalur yang diyakininya.

Pada gambar di atas tampak bahwa elit secara top down membuat kebijakan publik untuk di implementasikan oleh administrator publik kepada rakyat banyak atau massa. Pendekatan ini dapat dikaitkan dengan paradigm pemisahan antara politik dengan administrasi publik yang di ikonkan dalam konstanta where politics end administrations begin.

Jadi model elit merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan dimana kebijakan publik merupakan perspeksi elit politik. Prinsip dasarnya adalah karena setiap elit politik ingin mempertahankan status quo maka kebijakannya menjadi bersifat konservatif. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para elit politik tidaklah berarti selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat. Ini adalah kelemahan-kelemahan dari model elit.

4. Model Sistem :

Pendekatan ini pertama kali oleh David Easton yang melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara makluk hidup dengan lingkungannya yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relative stabil. Dalam terminologi ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik. Dalam pendekatan ini dikenal tiga komponen yaitu : input, proses dan output. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah.

Jadi formulasi kebijakan publik dengan model sistem mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem ( politik ). Seperti dipelajari dalam ilmu politik maka sistem politik terdiri dari input, throughtput dan output seperti yang digambarkan diatas.

Dari gambar diatas dapat dipahami bahwa prose formulasi kebijakan publik berada didalam sistem politik dengan mengandalkan kepada masukan (input) yang terdiri dari dua hal yakni tuntutan dan dukungan. Model ini merupakan model yang paling sederhana namun cukup komprehensif meski tidak memadai lagi untuk digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan atau formulasi kebijakan publik.

5. Model Proses :

Didalam model ini para pengikutnya menerima asumsi bahwa politik merupakan sebuah aktifitas sehingga mempunyai proses. Untuk itu kebijakan publik merupakan juga proses politik yang menyertakan rangkaian kegiatan berikut :

Identifikasi permasalahan

Mengemukan tuntutan agar pemerintah mengambil tindakan.

Menata agenda formulasi kebijakan

Memutuskan isu apa yang dipilih dan permasalahan apa yang hendak dikemukakan.

Perumusan proposal kebijakan

Mengembangkan proposal kebijakan untuk menangani masalah tersebut.

Legitimasi kebijakan

Memilih salah satu buah proposal yang dinilai terbaik untuk kemudian mencari dukungan politik agar dapat diterima sebagai sebuah hukum.

Implementasi kebijakan

Mengorganisasikan birokrasi, menyediakan pelayanan dan pembayaran, dan pengumpulan pajak.

Evaluasi kebijakan

Melakukan studi program, melaporkan output-nya, mengevaluasi pengaruh (impact) dan kelompok sasaran dan non-sasaran, dan memberikan rekomendasi penyempurnaan kebijakan.

Model ini memberi tahu kita bagaimana kebijakan harus dibuat atau seharusnya dibuat, namun kurang memberikan kepada subtansi seperti apa yang harus ada.

6. Model Rasional :

Model ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik sebagai maximum sosial gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Tidak dipungkiri model ini adalah model yangpaling banyak diikuti dalam praktek formulasi kebijakan publik diseluruh dunia.

Model ini mengatakan bahwa prose formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Dengan kata lain model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis. Cara-cara formulasi kebijakan disusun dalam urutan :

1. Mengetahui preferensi publik dan kecendurungannya;

2. Menemukan pilihan-pilihan;

3. Menilai konsekuensi masing-masing pilihan;

4. Menilai nilai rasio sosial yang dikorbankan;

5. Memilih alternatif kebijakan yang paling efektif.

Apabial dirunut kebijakan ini merupakan model ideal dalam formulasi kebijakan dalam arti mencapai tingkat efisiensi dan efektifitas kebijakan. Studi-studi kebijakan biasanya memberikan fokus pada tingkat efisiensi dan keefektifan kebijakan.

Namun demikian idealisme dari model rasional ini perlu diperkuat dan ditingkatkan, karena disepanjang sejarah kenegaraan selalu ada negarawan-negarawan dan birokrat-birokrat professional yang mengabdikan diri secara tulus kepada kemajuan bangsanya dari pada sekedar mencari keuntungan pribadi. Oleh karena itu model rasional ini perlu menjadi kajian didalam proses formulasi kebijakan.

7. Model Inkrementalis :

Model inkrementalis pada dasarnya merupakan kritik terhadap model rasional. Dikatakannya para pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti yang di isyaratkan oleh pendekatan rasional karena mereka tidak memiliki cukup waktu, intelektual, maupun biaya. Ada kekhawatiran muncul dampak yang tidak di inginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, adanya hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya harus dipertahankan dan menghindari konflik.

Model ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun kelanjutan dari kebijakan dimasa lalu. Model ini dapat dikatakan sebagai model pragmatis atau praktis. Pendekatan ini diambil ketika pengambil kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Sementara itu pengambil kebijakan dihadapkan kepada ketidakpastian yang muncul disekitarnya. Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan dimasa lalu dengan beberapa modifikasi seperlunya, pilihan ini biasanya dilakukan oleh pemerintahan yang berada di lingkungan masyarakat yang pluralistic yang membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang dapat memuaskan seluruh warga.

Dari gambar diatas tampak bahwa kebijakan inkrementalis adalah berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahankan kinerja yang telah dicapai.

8. Model Teori Permainan :

Model ini biasanya di-cap sebagai model konspiratif. Sesungguhnya teori permainan sudah mulai mengemuka sejak berbagai pendekatan yang sangat rasional tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul yang sulit diterangkan dengan fakta-fakta yang tersedia karena sebagian besar dari kepingan fakta tersebut tersembunyi erat.

Gagasan pokok dari kebijakan dalam model ini adalah formulasi kebijakan berada didalam situasi kompetisi yang intensif, para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independen ke dependen melakukan situasi pilihan yang sama-sama bebas atau independen. Sama seperti sebuah permainan catur setiap langkah akan bertemu dengan kombinasi langkah lanjut dan langkah balasan yang masing-masing relatif bebas.

Model teori permainan adalah model yang sangat abstrak dan deduktif didalam formulasi kebijakan. Sesungguhnya model ini mendasarkan kepada formulasi kebijakan yang rasional namun didalam kondisi kompetitif dimana tingkat keberhasilan kebijakan tidak lagi ditentukan oleh aktor pembuat kebijakan namun dari pembuat kebijakan.

Konsep kunci dari teori permainan dalah strategi dimana konsep kuncinya bukanlah yang paling optimum namun yang paling aman dari serangan lawan. Jadi dasarnya konsep ini mempunyai tingkat konservatifitas yang tinggi karena pada intinya adalah strategi defensif.

Pendekatan teori ini juga dapat pula dikembangkan sebagai strategi ofensif terlebih apabila yang bersangkutan berada dalam posisi superior atau mempunyai dukungan sumber daya yang memadai.

Inti dari teori permainan ini yang terpenting adalah bahwa ia mengakomodasikan kenyataan yang paling riil bahwa setiap negara, setiap pemerintahan, setiap masyarakat tidak hidup dalam vakum. Ketika kita mengambil keputusan maka lingkungan tidak pasif melainkan membuat keputusan yang bisa menurunkan keefektifan keputusan kita. Disini teori permainan memberikan kontribusi yang paling optimal.

9. Model Pilihan Publik :

Model kebijakan ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Akar kebijakan ini sendiri berakar dari teori ekonomi pilihan publik (economic of publik choice) yang mengandalkan bahwa setiap manusia adalah homo ecnomicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dipuaskan. Prinsipnya adalah buyer meet seller, supply meet demand.

Pada intinya kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna (beneficiaries atau customer dalam konsep bisnis). Proses formulasi kebijakan publik denan demikian melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan. Secara umum ini adalah konsep formulasi kebijakan publik yang paling demokratis karena mmberi ruang yang bebas kepada publik untuk mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Sebuah pemikiran yang dilandasi gagasan John Locke bahwa pemerintah adalah sebuah lembaga yang muncul dari kontrak sosial di antara individu-individu warga masyarakat.

Model ini membantu untuk menjelaskan kenapa para pemenang pemilu acapkali gagal memberikan yang terbaik kepada masyarakat karena mereka lebih berkepentingan kepada publiknya yaitu para pemberi suara atau pendukungnya. Model ini juga membantu kita memahami kenapa kebijakan-kebijakan publik tempatnya selalu di tengah-tengah dari kebijakannya yang liberal maupun yang konservatif seperti tampak pada gambar diatas.

Model kebijakan publik meski ideal dalam konteks demokrasi dan kontrak sosial namun memiliki kelemahan pokok didalam realitas interaksi itu sendiri, karena interaksi akan terbatas pada publik yang mempunyai akses dan disisi lain terdapat kecendurungan dari pemerintah untuk memuaskan pemilihnya daripada masyarakat luas. Tidak jarang kita melihat kebijakan publik yang tampak adil namun apabila dikaji ia hanya menguntungkan sejumlah kecil warga atau kelompok saja.

Selain sembilam model formulasi kebijakan sebagaimana diatas, Thomas R. Dye juga menginventarisir model formulasi kebijakan lain sebagai berikut :

10. Model Pengamatan Terpadu :

Model ini merupakan upaya menggabungkan antara model rasional dan model inkremental. Inisiatornya adalah pakar sosiologi organisasi Amitai Etzioni pada tahun 1967. Ia memperkenalkan model ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan pokok, dan menjalankannya setelah keputusan itu tercapai. Model ini ibaratnya pendekatan dengan dua kamera. Kamera dengan wide angle untuk melihat keseluruhan dan kamera dengan zoom untuk melihat detailnya.

Pada dasarnya model ini adalah model yang amat menyederhanakan masalah. Etzioni pun hanya memperkenalkan dalam sebuah papernya dalam Publik Administration Review desember 1967 dengan judul “Mixed Scanning : A Third Approach to Decision Making”. Namun harus diakui di Indonesia model ini disukai karena merupakan “model kompromi” meski tidak efektif. Mengkompromikan Rasional dan Inkremental dapat dilihat ketika Soekarno menggabungkan antara “Agama” dengan “Komunisme” pada doktrinya yang disebut dengan Nasakom.

11. Model Strategis :

Meskipun disebut “strategis” pendekata ini tidak megatakan bahwa pendekatan lain “tidak strategis”. Intinya adalah bahwa pendekatan ini menggunakan rumusan runtutan perumusan strategi sebagai basis perumusan kebijakan. Salah satu yang banyak dirujuk adalah John D. Bryson seorang pakar perumusan strategis bagi organisasi non-bisnis.

Bryson mengutip Olsen dan Eadie untuk merumuskan makna perencanaan strategis, yaitu upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi (atau entitas lainnya), apa yang dikerjakan organisasi (atau entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas lainnya) mengerjakan hal seperti itu. Perencanaan strategis mensyaratkan pengumpulan informasi secara luas, ekploratif alternatif, dan menekankan implikasi masa depan dengan keputusan sekarang.

Perencanaan strategis lebih memfokuskan kepada pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan kepada penilain terhadap lingkungan diluar dan didalam organisasi, dan berorientasi kepada tindakan.

Perencaan stategis dapat membantu organisasi untuk :

1. Berpikir secara strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang efektif

2. Memperjelas arah masa depan

3. Menciptakan prioritas

4. Membuat keputusan sekarang dengan mengingat konsekuensi masa depan

5. Mengembangkan landasan yang koheren dsn kokoh bagi formulasi kebijakan

6. Menggunakan keleluasaan yang maksimum dalam bidang-bidang yang berada dibawah

7. Control organisasi

8. Membuat keputusan yang melintasi tingkat dan fungsi

9. Memecahkan masalah utama organisasi

10. Menangani keadaan yang berubah dengan cepat dan efektif

11. Membangun kerja kelomopok dan keahlian.

Proses perumusan strategi sendiri disusun dalam langkah-langkah sebagai berikut :

1. Memprakarsai dan menyepakati proses perencanaan strategis yang meliputi kegiatan memahami manfaat proses perencanaan strategis, mengembangkan kesepakatan awal

2. Merumuskan panduan proses

3. Memperjelas mandat dan misi organisasi yang meliputi kegiatan perumusan misi dan mandat organisasi

4. Menilai kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman. Proses ini melibatkan kegiatan perumusan hasil kebijakan yang di inginkan, manfaat-manfaat kebijakan, analisa SWOT (penilaian lingkungan eksternal dan internal), proses penilaian dan panduan proses penilaian itu sendiri

5. Mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi. Proses ini melibatkan kegiatan-kegiatan merumuskan hasil dan manfaat yang diinginkan dari kebijakan, merumuskan contoh-contoh isu strategis, mendiskripsikan isu-isu strategis

6. Merumuskan strategi untuk mengelola isu.

Model ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai salah satu derivat manajemen dari model rasional karena mengandaikan bahwa proses perumusan kebijakan adalah proses rasional dengan pembedaan bahwa model ini lebih fokus kepada rincian-rincian langkah manajemen strategis.

12. Model Demokratis :

Model ini berkembang khususnya di Negara-negara yang baru saja mengalami transisi de demokrasi, seperti Indonesia. Model ini biasanya dikaitkan dengan implementasi good governance bagi pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan para konstituen dan pemanfaat ( beneficiaries ) diakomodasi keberadaannya.

Model ini baik namun kurang efektif dalam mengatasi masalah-masalahyang kritis, darurat dan dalam kelangkaan sumber daya. Namun jika dapat dilaksanakan model ini sangat efektif dalam implementasinya karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan, karena setiap pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan.

Referensi

Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, Evaluasi. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.

No comments:

Lagu Kei "WATAT"

NEN NEN O DEN BE O, NEN NEN O DEN BE O TANAT NA HU DANG BO NA EN SAR O NEN O MATAM DAN BE O, NEN O MATAM DAN BE O UM VAL WAHAM DO FO MLI...