Dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia berupa otonomi seluas-luasnya kepada papua.
Melalui otonomi khusus, Papua memiliki kewenangan yang luas, meliputi seluruh bidang pemerintahan (kecuali politik luar negeri, keamanan, moneter dan fiskal), keuangan, perekonomian, hak asasi manusia, kepolisian daerah Povinsi Papua, kekuasaan peradilan, keagamaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup, kerja sama dan penyelesaian perselisihan. Bentuk nyata dari desentralisasi politik di Papua adalah dengan ditetapkannya Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus (Otonomi khusus) bagi daerah Papua, pada 21 November 2001.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi povinsi papua dimana pada isinya mengharuskan pembangunan yang setimpal kepada daerah-daerah yang ada di provinsi papua yang masanya adalah 25 (dua puluh lima) tahun. Ada 4 (empat) sektor utama yang dijadikan sasaran dari pelaksanaan otonomi khusus itu sendiri antara lain pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan ekonomi.
Dalam penerapan kebijakan terhadap kesejahteraan rakyat perlu diperhatikan bagaimana realisasi implementasi kebijakan tersebut berdampak terhadap masyarakat, apakah dalam implementasi berjalan dengan baik atau berbanding terbalik dimana implementasi kebijakan tersebut justru dikatakan tidak berjalan dengan baik. Setelah sewindu sejak ditetapkannya UU Otsus Papua pada 2001, harus diakui bahwa telah banyak perubahan di Papua, seperti berbagai posisi politik yang dipegang oleh orang Papua asli, mulai dari jabatan gubernur, bupati dan camat di seluruh wilayah Papua. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Papua dapat diselenggarakan secara aman dan damai. Secara fisik, pembangunan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan moderen, hotel dan jalan meningkat pesat setelah pemberlakuan Otsus di Papua. Selain itu, mobilitas orang dari dan ke Papua pun semakin meningkat. Namun tidak demikian dengan masalah pendidikan yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini, dana otsus bagi pendidikan sekitar 30% yang dikucurkan belum dapat menjawab ketertinggalan pendidikan di papua dan kabupaten merauke pada khususnya, pemenuhan hak atas pendidikan sebagai pintu peradaban justru semakin merosot. Penyediaan tenaga pengajar semakin sulit ditemukan di pedalaman, sarana-prasarana amat memprihatinkan dan bahkan di berbagai kampung tidak tersedia gedung sekolah, bantuan pendidikan disalahgunakan, rendahnya angka kelulusan masyarakat asli papua, kurangnya sumber daya manusia, masalah pendidikan gratis, buta aksara, hingga rendahnya mutu pendidikan masyarakat, padahal alokasi dana otsus untuk pendidikan disediakan sekitar 30%. Kebijakan pendidikan pun belum berjalan sesuai dengan yang tertuang dalam dengan isi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Bab XVI pasal 56 tentang Pendidikan dan Kebudayaan yang berbunyi :
Melalui otonomi khusus, Papua memiliki kewenangan yang luas, meliputi seluruh bidang pemerintahan (kecuali politik luar negeri, keamanan, moneter dan fiskal), keuangan, perekonomian, hak asasi manusia, kepolisian daerah Povinsi Papua, kekuasaan peradilan, keagamaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup, kerja sama dan penyelesaian perselisihan. Bentuk nyata dari desentralisasi politik di Papua adalah dengan ditetapkannya Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus (Otonomi khusus) bagi daerah Papua, pada 21 November 2001.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi povinsi papua dimana pada isinya mengharuskan pembangunan yang setimpal kepada daerah-daerah yang ada di provinsi papua yang masanya adalah 25 (dua puluh lima) tahun. Ada 4 (empat) sektor utama yang dijadikan sasaran dari pelaksanaan otonomi khusus itu sendiri antara lain pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan ekonomi.
Dalam penerapan kebijakan terhadap kesejahteraan rakyat perlu diperhatikan bagaimana realisasi implementasi kebijakan tersebut berdampak terhadap masyarakat, apakah dalam implementasi berjalan dengan baik atau berbanding terbalik dimana implementasi kebijakan tersebut justru dikatakan tidak berjalan dengan baik. Setelah sewindu sejak ditetapkannya UU Otsus Papua pada 2001, harus diakui bahwa telah banyak perubahan di Papua, seperti berbagai posisi politik yang dipegang oleh orang Papua asli, mulai dari jabatan gubernur, bupati dan camat di seluruh wilayah Papua. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Papua dapat diselenggarakan secara aman dan damai. Secara fisik, pembangunan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan moderen, hotel dan jalan meningkat pesat setelah pemberlakuan Otsus di Papua. Selain itu, mobilitas orang dari dan ke Papua pun semakin meningkat. Namun tidak demikian dengan masalah pendidikan yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini, dana otsus bagi pendidikan sekitar 30% yang dikucurkan belum dapat menjawab ketertinggalan pendidikan di papua dan kabupaten merauke pada khususnya, pemenuhan hak atas pendidikan sebagai pintu peradaban justru semakin merosot. Penyediaan tenaga pengajar semakin sulit ditemukan di pedalaman, sarana-prasarana amat memprihatinkan dan bahkan di berbagai kampung tidak tersedia gedung sekolah, bantuan pendidikan disalahgunakan, rendahnya angka kelulusan masyarakat asli papua, kurangnya sumber daya manusia, masalah pendidikan gratis, buta aksara, hingga rendahnya mutu pendidikan masyarakat, padahal alokasi dana otsus untuk pendidikan disediakan sekitar 30%. Kebijakan pendidikan pun belum berjalan sesuai dengan yang tertuang dalam dengan isi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Bab XVI pasal 56 tentang Pendidikan dan Kebudayaan yang berbunyi :
- Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua.
- Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan Pemerintah Provinsi.
- Setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.
- Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi Papua.
- Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat memberikan bantuan dan/atau subsidi kepada penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan.
- Pelaksanan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) ditetapkan dengan Perdasi.
Dengan pendidikan yang bermutu dimaksudkan bahwa pendidikan di Provinsi Papua harus dilaksanakan secara baik dan bertanggung jawab sehingga menghasilkan lulusan yang memiliki derajat mutu yang sama dengan pendidikan yang dilaksanakan di provinsi lain. Mengingat masih rendahnya mutu sumber daya manusia Papua dan pentingnya mengejar kemajuan di bidang pendidikan, maka pemerintah daerah berkewajiban membiayai seluruh atau sebagian biaya pendidikan bagi putra putri asli Papua pada semua jenjang pendidikan. Sejak bergulir pada tahun 2001 memang beberapa pembangunan nyata telah direalisasikan, akan tetapi itu dirasa hanya merupakan kewajiban pemerintah semata. Kebijakan pemerintah dalam hal memajukan, memberdayakan, memasyarakatkan penduduk atau masyarakat setempat belum sepenuhnya berjalan mulus. Masyarakat belum tau apa itu arti otonomi khusus, bagaimana bentuknya dan apa saja bentuk nyata bagi masyarakat. Otonomi masih lebih banyak hanya berputar pada mereka yang membuat kebijakan, mereka yang mengelolah bahkan berdampak pada adanya praktek KKN atas hak masyarakat tersebut. Warga lokal belum mendapat prioritas dalam pembangunan sehingga dapat dikatakan warga lokal bahkan menjadi penonton atas apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bagi warga lokal hanya sebatas sebuah fenomena yang biasa saja dan tidak menjadi sebuah maha karya yang seharusnya dinikmati.
Beberapa faktor turut berperan dalam terciptanya suasana ini antara lain factor pendidikan yang kurang dari masyarakat serta ekonomi yang kurang mendukung. Kolaborasi antara minimnya mengecap dunia pendidikan sangat berpengaruh kepada kurangnya perhatian mereka terhadap dunia pendidikan, pendidikan hanya menjadi sampingan semata disaat warga lebih memilih untuk mencari nafkah dengan berburu, nelayan, menanam untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ironisnya anak-anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah malah harus turut berpartisipasi bersama orang tua mereka memenuhi kebutuhan ekonomi mereka sehari-hari yang pada akhirnya yang terjadi adalah minimnya atau terbatasnya sumber daya manusia akibat keterbatasan pendidikan. Ketika keadaan tersebut terjadi akan muncul pertanyaan kemana kebijakan pendidikan diarahkan dan sejauh mana implementasi kebijakan pendidikan tersebut terutama kepada masyarakat sebagai sasaran pelaksanaan otonomi khusus tersebut.
Keterbatasan sumber daya manusia dan pendidikan yang ada dipapua disebabkan karena beberapa faktor antara lain :
Beberapa faktor turut berperan dalam terciptanya suasana ini antara lain factor pendidikan yang kurang dari masyarakat serta ekonomi yang kurang mendukung. Kolaborasi antara minimnya mengecap dunia pendidikan sangat berpengaruh kepada kurangnya perhatian mereka terhadap dunia pendidikan, pendidikan hanya menjadi sampingan semata disaat warga lebih memilih untuk mencari nafkah dengan berburu, nelayan, menanam untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ironisnya anak-anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah malah harus turut berpartisipasi bersama orang tua mereka memenuhi kebutuhan ekonomi mereka sehari-hari yang pada akhirnya yang terjadi adalah minimnya atau terbatasnya sumber daya manusia akibat keterbatasan pendidikan. Ketika keadaan tersebut terjadi akan muncul pertanyaan kemana kebijakan pendidikan diarahkan dan sejauh mana implementasi kebijakan pendidikan tersebut terutama kepada masyarakat sebagai sasaran pelaksanaan otonomi khusus tersebut.
Keterbatasan sumber daya manusia dan pendidikan yang ada dipapua disebabkan karena beberapa faktor antara lain :
- Kesadaran masyarakat untuk melanjutkan pendidikan sangat rendah;
- Keterbatasan membuat mereka yang tidak mempunyai biaya tidak dapat melanjutkan studi;
- Kurangnya tenaga pendidik yang benar-benar siap mengabdi;
- Faktor budaya yang bersifat tertutup turut membuat masyarakat enggan melanjutkan studi.
Masalah muncul ketika sumber daya tidak tersedia karena masalah pendidikan yang terbelakang, maka pemerintah daerah memegang peran yang penting dalam usaha memajukan atau mengembangkan pendidikan masyarakatnya agar dapat menjawab tantangan pembangunan tersebut. Masalah di atas tentu menjadi sebuah pekerjaan berat bagi pemerintah daerah dalam memajukan pendidikan tentunya, mengingat masalah pendidikan memang menjadi sebuah masalah yang tidak ringan dengan kondisi papua yang sangat beraneka ragam apalagi umur otsus semakin hari semakin mendekat habis masa ‘kontraknya’ di bumi papua, maka tentunya diperlukan strategi dari pemerintah daerah dalam memajukan pendidikan sebagai bentuk implementasi dari otonomi khusus.
(dari berbagai sumber bacaan).
Salam.
(dari berbagai sumber bacaan).
Salam.