Sunday, April 25, 2010

Teori Kepemimpinan

  1. Teori – Teori Kepemimpinan

Teori – teori kepemimpinan pada umumnya berusaha menerangkan faktor- faktor yang memungkinkan munculnya kepemimpinan dan sifat ( nature ) dari kepemimpian mengikuti pelbagai macam pendapat tentang teori – teori kepemimpinan yang diajukan sementara, dapat disimpulkan beberapa teori yang penting seperti dibawah ini :

  1. Teori Serba Sifat ( Trais theory )

Teori ini mengajarkan bahwa kepemimpinan itu memerlukan serangkaian sifat – sifat, ciri – ciri atau perangai tertentu yang menjamin keberhasilan pada setiap situasi. Seseorang pemimpin akan berhasil apabila ia memiliki sifat – sifat, ciri – ciri atau perangai tersebut. Berdasarkan asumsi ini maka lalu diusahakan pemerincian sifat – sifat tertentu itu, lalu diperbandingkan dengan sifat – sifat dari para pemimpinyang ada, untuk kmudian dirumuskan sifat – sifat umum dari pemimpin. Sifat – sifat tersebut dapat dijadikan pedoman untuk mengembangkan kepemimpinan.

Teori ini mempunyai kelemahan – kelemahan antara lain :

        • Diantara pendukung – pendukungny tidak ada penyesuaian atau kesamaan mengenai perincian sifat – sifat dimaksud

        • Terlalu sulit untuk menetapkan sifat – sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin

        • Sejarah membuktikan bahwa situasi dan kondisi tertentu memerlukan sifat – sifat pemimpin yang tertentu pula

  1. Teori Lingkungan ( Enviromental theory )

Teori ini dikemukakan bahwa teori lingkungan ini mengkonstatir bahwa munculnya pemimpin – pemimpin itu merupakan hasil daripada waktu, tempat dan keadaan atau situasi dan kondisi. Suatu tantangan atau suatu kejadian penting dan luar biasa akan menampilkan seseorang untuk menjadi pemimpin. Jelaslah bahwa situasi dan kondisi tertentu melahirkan tantangan – tantangan tertentu, dan dengan sendirinya diperlukan orang – orang yang memiliki sfat – sifat atau ciri – ciri tertentu yang cocok. Dengan perkataan lain, setiap situasi dan kondisi menuntut kualitas kepemimpinan yang berbeda. Seorang pemimpin yang berhasil pada situasi dan kondisi tertentu tidak menjamin bahwa ia pasti berhasil pada situas dan kondisi yang lain.

Ternyata daftar sifat – sifat yang telah dihasilkan oleh teori serba sifat juga tidak menjamin keberhasilan sorang pemimpin. Teori lingkungan ini karena memperhitungkan faktor situasi dan kondisi juga disebut teori serba situasi. Kebangkitan dan kejatuhan seorang pemimpin dikarenakan oleh situasi dan kondisi apabila seseorang “menguasai” situasi dan kondisi maka ia akan menjadi pemimpin.

  1. Teori pribadi dan Situasi ( Personal-Situasional theory )

Penganut teori serba sifat dan teori serba situasi hanya berusaha menjelaskan kepemimpinan sebgai akibat dari seperangkat kekuatan tunggal. Adanya akibat – akibat interaktif antara faktor pribadi ( individu ) dan faktor situasi diabaikan. Untuk memperbaiki kedua teori tadi munculah teori prbadi-situasi. Teori ini pada dasarnya mengakui bahwa kepemimpinan merupakan produk dari terkaitnya tiga faktor yaitu :

        • Perangai ( sifat ) pribadi dari pemimpin

        • Sifat dari kelompok dan anggota – anggotanya

        • Kejadian – kejadian ( masalah – masalah ) yang dihadapi oleh kelompok orang.

  1. Teori Interaksi dan Harapan ( Interaction – Expectation theory )

Teori ini berasumsi bahwa semakin terjadi interaksi dan pertisipasi dalam kegiatan bersama semakin meningkat perasaan saling menyukai/menyenangi satu sama lain dan semakin memperjelas pengertian atas norma – norma kelompok, semakin mendekati kesesuaian kegiatan dengan norma – norma, semakin luas jangkauan interaksina dan semakin besar jumlah anggota kelompok yang tergerak. Yang penting harus dijaga agar aksi – aksi pemimpin tidak mengecewakan harapan – harapan.

  1. Teori Humanistik ( Humanstic Theory )

Menurut teori ini perlu dilakukan motivasi pada pengikut, dengan memenuhi harapan – harapan mereka dan memuaskan kebutuhan – kebutuhan mereka. Beberapa kebutuhan sudah disebutkan didepan, antara lain fisiologis, keamanan sosial, prestige dan sebagainya. Oleh karena melakukan motivasi berarti juga melakukan human relation ( hubungan antar manusia ) maka teori ini dinamakan juga sebagai teori hubungan antar manusia, yang dimaksudnya mengusahakan keseimbangan antara kebutuhan/kepentingan perseorangan dan kebutuhan/kepentingan umum organisasi.

  1. Teori Tukar Menukar ( Exchange Theory )

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa interaksi sosial menggambarkan suatu bentuk tukar-menukar dalam mana anggota – anggota kelompok memberikan kontribusi dengan pengorbanan – pengorbanan mereka sendiri dan menerima imbalan dengan pengorbanan – pengorbanan kelompok atau anggota – anggota lain. Interaksi berlangsung terus, oleh karena anggota – anggota merasakan tukar-menukar secara sosial ini saling memberikan penghargaan. Demikian pula antara pemimpin dan yang dipimpin, antara anggota – anggota yang dipimpin satu sama lain harus berlangsung tukar-menukar keuntungan dan keenakan, harus saling memberi dan menerima. Dengan jalan demikian maka akan selalu terjadi gerak, yaitu gerak dari pengikut – pengikut yang digerakan oleh pemimpin. Hal ini dapat terjadi karena saling menguntungkan. Jadi dalam teori ini ditekankan adanya “give and take” antara pemimpin dan yang dipimpin, oleh karenanya teori ini disebut juga teori beri-memberi atau dapat juga disebut saling memberi dan menerima.


Kabinet Presidensil dan Parlementer

Pengertian Sistem Pemerintahan :
Sistem pemerintahan diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan mempengaruhi dalam mencapai tujuan dan fungsi pemerintahan. Sistem pemerintahan adalah sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur pemerintahannya.

Kabinet presidensil dan Ciri-ciri pemerintahan presidensil :
Kabinet presidensial adalah suatu kabinet dimana pertanggungjawaban atas kebijaksanaan pemerintah dipegang oleh presiden. Presiden merangkap jabatan sebagai perdana menteri sehingga para menteri tidak bertanggung jawab kepada perlemen/DPR melainkan kepada presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial sebagai berikut.
  1. Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.
  2. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.
  3. Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen.
  4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
  5. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.
  6. Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen.

Kabinet parlementer dan ciri-ciri pemerintahan parlementer :
Kabinet parlementer adalah suatu kabinet yang dibentuk dengan memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara yang ada didalam parlemen. Jika dilihat dari komposisi (susunan keanggotaannya), kabinet parlementer dibagi menjadi tiga, yaitu kabinet koalisi, kabinet nasional, dan kabinet partai.
Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut:
  1. Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.
  2. Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemilihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen.
  3. Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen.
  4. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
  5. Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan,ia hanya berperan sebagai symbol kedaulatan dan keutuhan negara.
  6. Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru.

Otonomi Daerah dan Desentralisasi

    1. Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Salah satu aspek reformasi yang mendapat perhatian hingga kini adalah persoalan kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan cukup berarti terhadap hubungan pusat dan daerah. Diharapkan melalui kebijakan yang sudah berjalan beberapa tahun ini dapat membantu proses reformasi pada tingkat lokal dan memberi kebebasan terutama pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber – sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal sehingga tercipta pembangunan yang baru. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk memperoleh kesejahteraan lebih baik lagi disbanding masa sebelum reformasi dimana pemerintah daerah atau pemerintah lokal dapat lebih fokus menjalankan pemerintahannya untuk memajukan sarana, infrastruktur bahkan sumber daya alam dan manusia sekalipun lewat kebijakan otonomi daerah ini.

Otonomi daerah sendiri adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepeentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Selanjutnya daerah otonom yang disebut daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas – batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam proses pelaksanaan otonomi daerah maka harus sesuai dengan tujuan diberikannya otonomi tersebut yakni :

    1. Lancar dan teraturnya pembangunan di seluruh wilayah Negara

    2. Sesuai atau tidaknya pembangunan dengan pengarahan yang telah diberikan

    3. Sesuai dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa

    4. Terjaminnya keserasian hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

    5. Terjaminnya pembangunan dan perkembangan daerah

Hal tersebut diatas adalah sesuatu yang harus diperhatikan dalam proses pelaksanaan otonomi daerah.

Dalam proses pelaksanaan otonomi daerah tersebut diberikan kebebasan penuh kepada daerah untuk mengatur sendiri pemerintahan di daerahnya, maka munculah beberap aturan yang mengatur hal tersebut antara lain Undang – Undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah No. 3 Tahun 2005 tentang perubahan atas Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, maka muncullah istilah Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desentralisasi meminimalisir rentang kendali antara pemerintah pusat dan daerah sehingga pemerintah daerah dapat lebih efisien dan efektif dalam menjalankan program yang hendak dikerjakan tanpa harus meminta pertimbangan dan petunjuk dari pusat yang membutuhkan waktu yang lama.

    1. Proses pelaksanaan desentralisasi

Tujuan pemberian otonomi kepada daerah berorientasi kepada pembangunan, yaitu pembangunan dalam arti luas meliputi semua segi kehidupan dan penghidupan. Dengan demikian otonomi daerah lebih condong merupakan kewajiban daripada hak bagi daerah dalam proses pembangunan daerah.

Hal ini berarti bahwa daerah berkewajiban melancarkan jalannya pembangunan dengan sungguh – sungguh dan penuh rasa tanggung jawab sebagai sarana untuk mencapai cita – citra bangsa yaitu masyarakat yang adil dan makmur baik materiil maupun spiritual.

Dalam proses pelaksanaan desentralisasi kewenangan sepenuhnya ada di daerah untuk mengatur daerahnya sendiri, dalam hal ini pemimpin wilayah tertentu mengupayakan sendiri pembangunan didaerahnya yang dikenal dengan istilah Dekonsentrasi atau penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

Kewenangan daerah mencakup seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan bidang politik luar negeri serta kewenangan bidang lain. Khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh pemerintah kepada daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan daeran dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama. Kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Proses pelaksanaan desentralisasi harus berpedoman pada asas desentralisasi sendiri, asas desentralisasi yakni asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu.

Dengan demikian prakarsa, wewenang dan tanggung jawab mengenai urusan – urusan yang diserahkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah itu, baik mengenai politik kebijaksanaan, perencanaan dan pelaksanaannya maupun segi – segi pembiayaannya yang dilaksanakan oleh perangkat daerah itu sendiri.

Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian kekuasaan urusan pemerintahan antara pemerintah dengan daerah otonom, pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah yang menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan Negara secara keseluruhan. Urusan pemerintah tersebut meliputi :

    1. Politik luar negeri

Penunjukan dalam jabatan pejabat luar negeri,kerja sama luar negeri dan hubugan perdagangan luar negeri

    1. Pertahanan

Mendirikan angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang serta membangun system pertahanan

    1. Keamanan

Membentuk kepolisian Negara, menetapkan orang yang melanggar hukum, dan keamanan masyarakat

    1. Moneter

Mencetak uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan lainnya

    1. Yustisi

Mendirikan lembaga peradilan, mengkat lembaga, menetapkan kebijakan hakim dan lainnya.

    1. Agama

Menetapkan hari libur keagamaan, memberikan pengakuan terhadap suatu agama, dan laiinya.

Beberapa hal diatas tentunya wewenang sepenuhnya ada ditangan pemerintah dan bukan menjadi wewenang dari pemerintah daerah masing – masing.

    1. Kelemahan proses pelaksanaan Desentralisasi

Dalam pelaksanaan desentralisasi sebagai bagian dari otonomi daerah tentunya tidak berjalan mulus begitu saja, segala hal yang terjadi didunia ini pasti terdapat hambatan dalam proses pelaksanaannya.

Menurut pakar pemerintahan Drs. Djohermansyah Djohan, MA memberikan otonomi kepada daerah sama saja dengan mendirikan ratusan “ negara mini “, rakyat akan membentuk organisasi pemerintahan daerahnya sendiri selaras dengan kondisi daerah setempat. Pemerintah daerah setempat akan membuat dan menjalankan kebijakan daerahnya masing – masing menurut kehendak masyarakatnya, meskipun demikian kebijakan daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang – undangan Negara dan harus sesuai dengan bidang kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat.

Karena Indonesia adalah Negara maritim yang terdiri atas beribu – ribu pulau, suku, budaya, bahasa dan adat wajar jika pemrintahan daerah dengan begitu akan berbeda – beda kebijakan yang dibuat dan cara pelaksanaannya juga berbeda – beda. Adanya otonomi daerah ini juga membuat timbulnya daerah baru yang masih miskin akan pengalaman akibatnya akan muncul sikap sukuisme, daerahisme atau spirit serba mementingkan suku, daerah dan golongan masyarakat “ kita “ sendiri. Daerah akan menjadi egois, tidak peduli terhadap suku dan daerah lain bahkan dengan pemerintah pusat sekalipun.

Beberapa contoh dapat dilihat dari lemahnya pelaksanaan desentralisasi ini yang diakibatkan karena kesalahan dalam memahami pemberian otonomi daerah dan desentralisasi kepada daerah. Seperti adanya dualisme kepemimpinan dalam satu daerah, kepemimpinan yang kurang efektif, pejabat yang korupsi, adanya kolusi dan penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepada daerah. Maka menjadi nyata bahwa pelaksanaan otonomi daerah ini juga mempunyai kelemahan yang harus disikapi dengan baik.

Sikap ini akan membuat kita kembali membayangkan sikap orde baru dimana segala pusat perhatian dan pembangunan diarahkan ke “ Jakarta “ pusat saja, akibatnya daerah – daerah menjadi miskin dan masyarakat menderita. Sikap seperti ini yang menjadi kelemahan dari proses pelaksanaan desentralisasi sendiri, maka bagaimana agar pelaksanaan desentralisasi berjalan dengan baik, lancar dan tanpa hambatan tentunya kembali berpulang kepada daerah selaku penerima otonomi dari pemerintah. Agar supaya berhasil proses desentralisasi in maka segala kewenangan yang diberikan harusnya dijalankan dengan sebaik – baiknya, kewenangan ini harus dimanfaatkan secara efektif guna mendapatkan hasil yang efisien nanti.



Saturday, April 24, 2010

Teori Tahapan Pertumbuhan Ekonomi

a) Teori Tahapan Pertumbuhan Rostow
Teori pembangunan ekonomi ini muncul pada awalnya merupakan artikel yang dimuat dalam Economic Journal (1956), selanjutnya dikembangkan dalam buku yang berjudul The Stages of Economics, (1960). Teori pembangunan Rostow ini termasuk dalam teori linier tahapan pertumbuhan ekonomi, yang memandang proses pembangunan sebagai suatu tahap-tahap yang harus dialami oleh seluruh negara. Proses pembangunan sebagai suatu urutan tahap-tahap yang harus dilalui oleh seluruh negara. Industrialisasi merupakan salah satu kunci dari perkembangan
Menurut Walt W. Rostow, pembangunan ekonomi atau transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi suatu masyarakat modern merupakan proses yang multidimensi. Pembangunan ekonomi bukan saja pada perubahan dalam struktur ekonomi, tetapi juga dalam hal proses yang menyebabkan:
1) Perubahan reorientasi organisai ekonomi
2) Perubahan masyarakat,
3) Perubahan penanaman modal, dari penanam modal tidak produktif ke penanam modal yang lebih produktif
4) Perubahan cara masyarakat dalam membentuk kedudukan seseorang dalam sistem kekeluargaan menjadi ditentukan oleh kesanggupan melakukan pekerjaan
5) Perubahan pandangan masyarakat yang pada mulanya berkeyakinan bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh alam.
Dalam dimensi ekonominya menurut Rostow, semua masyarakat dikelompokkan ke dalam salah satu dari lima tahap pertumbuhan, yakni:
Menurut Rostow, proses pembangunan ekonomi biasa dibedakan kedalam 5 tahap yaitu:
1) Perekonomian Masyarakat Tradisional
Adalah masyarakat yang fungsi produksinya terbatas yang ditandai oleh cara produksi yang relatif masih primitif dan cara hidup masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kurang rasional.
2) Persyaratan untuk Tinggal Landas
Suatu masa tradisi dimana masyarakat mempersiapkan dirinya untuk mencapai pertumbuhan atas kekuatan sendiri. Pembangunan atau pertumbuhan ekonomi pada tahap ini ditandai oleh perubahan-perubahan mendasar pada karakteristik penting atau masyarakat. Tahap kedua ini merupakan masa tradisi dimana persyaratan-persyaratan swadaya dibangun atau diciptakan. Pembangunan yang berkesinambungan dan perluasan industri modern dapat terjadi terutama dengan menanamkan kembali keuntungan diseluruh investasi yang menguntungkan sebagaimana Rostow katakan : “Hakikat masa peralihan dapat digambarkan sebagai kenaikan investasi ke suatu tingkat yang secara teratur, mendasar dan nyata-nyata melampaui tingkat pertumbuhan penduduk”.
3) Tinggal Landas
Pertumbuhan ekonomi selalu terjadi, pada tahap ini terjadi perubahan yang drastis dalam masyarakat seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi atau berupa terbukanya pasar-pasar baru. Rostow mendefinisikan tingkat landas sebagai “revolusi industri yang bertalian secara langsung dengan perubahan radikal didalam metode produksi yang didalam jangka waktu relatif singkat menimbulkan konsekuensi yang menentukan.”
4) Menuju Kedewasaan
Sebagai masa dimana masyarakat sudah secara efektif menggunakan teknologi modern pada hampir semua kegiatan produksi. Rostow mendefinisikan sebagai “tahap ketika masyarakat telah dengan efektif menerapkan serentetan teknologi modern terhadap keseluruhan sumberdaya mereka..” Ini merupakan satu tahap pertumbuhan swadaya jangka panjang yang merentang melebihi masa empat dasawarsa. Teknik produksi baru menggantikan teknik yang lama. Berbagai sektor penting baru tercipta. Tingkat investasi lebih dari 10 persen dari pendapatan nasional. Dan perekonomian mampu menahan segala goncangan.
Kedua, watak pengusaha berubah. Bekerja keras dan kasar berubah menjadi manajer efisien yang halus dan sopan.
Ketiga, masyarakat merasa bosan pada keajaiban industrialisasi dan meningkatkan sesuatu yang baru menuju perubahan lebih jauh.
5) Tahap Konsumsi Tinggi
Pada tahap ini perhatian masyarakat telah lebih menekankan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat bukan lagi kepada masalah produksi.
Pertama, penerapan kebijaksanaan nasional guru meningkatkan kekuasaan dan pengaruh melampaui batas-batas normal. Kedua, ingin memiliki satu negara kesejahteraan dengan pemerataan pendapatan nasional yang lebih adil melalui pajak progresif, peningkatan jaminan sosial, dan fasilitas hiburan bagi para pekerja. Terakhir, keputusan untuk membangun pusat perdagangan dan sektor penting seperti mobil, rumah murah, dan berbagai peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik, dan sebagainya.

b). Kritik dan Kelemahan Tahapan Pertumbuhan Rostow
Kritik Misra [1981] terhadap Rostow [dalam Sutriah,2002:3]
• Apakah benar bahwa pertanian merupakan ciri dari keterbelakangan
• Apakah sejarah selalu terulang dengan cara yang sama
• Apakah perkembangan tahapan Rostow yang terjadi di Eropa akan juga terjadi di masyarakat lain, seperti: Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Industrialisasi tidak selamanya mengarah pada perkembangan yang diharapkan. Industrialisasi memerlukan tabungan yang tinggi dari masyarakat. Apabila tabungan rendah [seperti di Negara Sedang berkembang] maka mengandalkan PMA atau pinjaman. Akibatnya industrial tidak membawa hasil yang diharapkan, melainkan terjadi kesenjangan [wilayah dan ekonomi masyarakat] karena industri hanya terkumpul ditempat/kawasan tertentu.
Di negara-negara yang mendorong industrialisasi seperti India, Indonesia, Filipina. Korea dan Thailand terlihat bahwa penghasilan penduduk perdesaan cenderung menurun dan lebih rendah dibanding penduduk perkotaan [ Friedman dan Douglass, 1978:172]
Kritik terhadap tahapan pertumbuhan Rostow:
 Model pertumbuhanan dinegara-negara maju yang belum tentu sesuai diterapkan dinegara berkembang
 Tahap pertumbuhan tidak selalu sama pada setiap wilayah tergantung karakteristik wilayah masing-masing
 Ciri dalam tahap prasyaratan untuk mencapai lepas landas dan tahapan lepas landas bersifat kabur
 Tidak memperhitungkan kemungkinan terjadinya kegagalan pada proses tahap tinggal landas

Prinsip Organisasi dan Pelayan Publik

A. Prinsip – Prinsip Organisasi
Salah satu pakar organisasi Henry Fayol membagi prinsip organisasi menjadi 14 bagian. Adanya prinsip organisasi memungkinkan untuk semua organisasi dalam aktifitas tetap berpegang pada prinsip-prinsip tersebut, sebab itu akan menjadi dasar bagi sebuah organisasi untuk maju dan berkembang. Tentunya prinsip tersebut akan disesuaikan dengan perkembangan jaman melalui proses perubahan organisasi. Ke 14 prinsip organisasi menurut Fayol sebagai berikut :
  1. Pembagian kerja (division of work), Prinsip ini sama dengan “pembagian kerja” Adam Smith. Spesialisasi menambah hasil kerja dengan cara membuat para pekerja lebih efisien.
  2. Wewenang (authority), Manajer harus dapat member perintah. Wewenang memberikan hak ini kepadanya,. Tetapi wewenang berjalan seiring dengan tanggung jawab. Jika wewenang digunakan, timbullah tanggung jawab. Agar efektif, wewenang seorang manajer harus sama dengan tanggung jawabnya.
  3. Disiplin (discipline), Para pegawai harus mentaati dan menghormati peraturan yang mengatur organisasi. Disiplin yang baik merupakan hasil dari kepemimpinan yang efektif, suatu saling pengertian yang jelas antara manajemen dan para pekerja tentang peraturan organisasi serta penerapan hukuman yang adil bagi yang menyimpang dari peraturan tersebut.
  4. Kesatuan komando (unity of command), Setiap pegawai seharusnya menerima perintah hanya dari seorang atasan.
  5. Kesatuan arah (unity of direction), Setiap kelompok aktivitas organisasi yang mempunyai tujuan sama harus dipimpin oleh seorang manjer dengan menggunakan sebuah rencana.
  6. Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan individu (subordination of individual interest to the general interest), Kepentingan seorang pegawai atau kelompok pegawai tidak boleh mendahulukan kepentingan organisasi secara keseluruhan.
  7. Remunarasi (renumeration/reward system), Para pekerja harus digaji sesuai dengan jasa yang mereka berikan.
  8. Sentralisasi (centralization), ini merujuk kepada sejauh mana para bawahan terlibat dalam pengambilan keputusan. Apakah pengambilan keputusan itu disentralisasi (pada manajemen) atau disentralisasi (pada para bawahan) adalah proporsi yang tepat. Kuncinya terletak pada bagaimana menemukan tingkat sentralisasi yang optimal untuk setiap situasi.
  9. Rantai scalar (scalar chain), Garis wewenang dari manajemen puncak sampai ke tingkat yang paling rendah merupakan rantai scalar. Komunikasi harus mengikuti rantai ini. Tetapi, jika dengan mengikuti rantai tersebut malah tercipta kelambatan, komunikasi silang dapat diizinkan jika disetujui oleh semua pihak, sedangkan atasan harus diberitahu
  10. Tata tertib (order), Orang dan bahan harus ditempatkan pada tempat dari waktu yang tepat
  11. Keadilan (equity), Para manajer harus selalu baik dan jujur terhadap para bawahan
  12. Stabilitas masa kerja para pegawai (tenure stability of personel), Perputaran (turnover) pegawai yang tinggi adalah tidak efisien. Manajemen harus menyediakan perencanaan personalia yang teratur dan memastikan bahwa untuk mengisi kekosongan harus selalu adda pengganti
  13. Inisiatif (initiative), Para pegawai yang diizinkan menciptakan dan melaksanakan rencana-rencana akan berusaha keras
  14. Semangat team (Esprit de corps), Mendorong team spirit akan membangun keselarasan dan persatuan di dalam organisasi.
Organisasi yang baik dan jelas tujuannya tentu akan menganut prinsip-prinsip organisasi diatas, agar dalam pelaksanaanya program kerjanya dapat berlangsung dengan baik.



B. Prinsip Pelayanan Publik
Dalam konteks ke-Indonesia-an, penggunaan istilah pelayanan publik (publik service) dianggap memiliki kesamaan arti dengan istilah pelayanan umum atau pelayanan masyarakat. Oleh karenanya ketiga istilah tersebut dipergunakan secara interchangeable, dan dianggap tidak memiliki perbedaan mendasar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan pengertian pelayanan bahwa “pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Oleh karenanya, pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (publik), terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan Negara. Dalam hal ini, pelayanan publik merujukkan istilah publik lebih dekat pada pengertian masyarakat atau umum. Namun demikian pengertian publik yang melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dan sebangun dengan pengertian masyarakat.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang harus diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Berdasarkan prinsip pelayanan sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri PAN Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003, yang kemudian dikembangkan menjadi 14 unsur yang "relevan”, “valid" dan "reliabel”, sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat adalah sebagai berikut :
  1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan;
  2. Persyaratan Pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya;
  3. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung jawabnya);
  4. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku;
  5. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan;
  6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/ menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat;
  7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan;
  8. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani;
  9. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati;
  10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besamya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan;
  11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan;
  12. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;
  13. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan;
  14. Keamanan Pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.


C. Proses Pelayanan Publik
Dalam Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik secara garis besar adalah sebagai berikut :
1. Pelayanan administratif
2. Pelayanan barang
3. Pelayanan jasa
Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:
a. Pendidikan.
b. Kesehatan.
c. Keagamaan.
d. Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan.
e. Rekreasi: taman, teater, musium, turisme.
f. Sosial.
g. Perumahan.
h. Pemakaman/krematorium.
i. Registrasi penduduk: kelahiran, kematian.
j. Air minum.
k. Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll.

Akuntabilitas Perpajakan


A. Akuntabilitas Publik

Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan.

Prof. Miriam Budiardjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai “pertanggung jawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu.” Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances sistem). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif (presiden, wakil presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem peradilan) serta legislatif (MPR dan DPR). Peranan pers yang semakin penting dalam fungsi pengawasan ini menempatkannya sebagai pilar keempat. Guy Peter menyebutkan adanya 3 tipe akuntabilitas yaitu : akuntabilitas keuangan, akuntabilitas administratif, dan akuntabilitas kebijakan publik.

Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang disebutnya sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggung jawaban kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal melalui rantai komando tertentu.

B. Pajak

Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Pengetian pajak menurut Prof. DR. Rachmat Sumitro,SH adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sektor pemerintah berdasarkan undang-undang, dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbale/tegen prestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum).

Dari pengertian pajak tersebut, maka dapat dipahami kalau aparat pajak selalu menggebu-gebu mengaitkan pajak dengan patriotisme dan pembangunan. Tetapi secara substansial apakah mereka yang sudah membayar pajak merupakan patriot dan pahlawan yang sebenarnya, itu masih bisa diperdebatkan. Apalagi ketika tingkat korupsi di Dirjen Pajak sudah mencapai tahap sistemik, maka jika kita membayar pajak sama artinya dengan memberi makan koruptor. Berkaitan dengan fungsi pajak maka pajak mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai sumber keuangan negara (budgetair), dan kedua sebagai fungsi pengatur (regularend). Secara sederhana fungsi budgetair berkaitan dengan pembiayaan jalannya Pemerintah, sedangkan fungsi regularend dapat digunakan untuk alat kebijakan negara dalam bidang ekonomi dan sosial seperti dalam hal redistribusi pendapatan dan alat untuk mencapai tujuan lainnya di luar keuangan seperti pengenaai pajak penjualan atas barang mewah (PPn BM).

Menurut Era Saligman ada empat Prinsip pemungutan pajak yakni Prisip fiscal, Prinsip Administrativ, Prinsip ekonomi, dan Prinsip Etika. Prinsip etika inilah yang berkaitan dengan proses akuntabilitas perpajakan di indonesia karena akuntabilitas berkaitan dengan etika atau norma seseorang dalam hal mempertanggung jawabkan perbuatan yang di perbuatnya. Prinsip etika juga berkaitan dengan akuntabilitas aparat pajak dalam menjalankan tugas sebagai petugas yang bersih dari segala kemungkinan terjadinya kasus penggelapan dan pencucia uang di Ditjen Pajak.


C. Akuntabilitas Perpajakan di Indonesia

Menurut buku pegangan anti korupsi United Nations Development Programme (UNDP), korupsi disebabkan oleh gabungan dari kekuasaan, integritas yang rendah dan kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), data wajib pajak dijamin kerahasiaannya sehingga tidak dapat diakses oleh siapapun kecuali ada ijin dari Menteri Keuangan. Implikasi dari kerahasiaan data wajib pajak adalah menjadi titik kritis/trigger point terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan kewenangan aparat pajak dalam proses pemungutan pajak dalam bentuk persekongkolan dan rekayasa yang dilakukan oleh aparat pajak dan wajib pajak yang tentu saja membawa keuntungan berupa "keringanan pajak" bagi wajib pajak, sedangkan bagi aparat pajak diperolehnya uang suap karena melakukan manipulasi data wajib pajak dengan tujuan memperkecil jumlah pajak dari yang seharusnya disetorkan. Disitulah terjadi tindak pidana korupsi dan kolusi yang mengakibatkan kerugian negara.

Mengingat pentingnya penerimaan pajak untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat juga sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi oleh aparat pajak, sangat mendesak untuk dilakukan revisi atau judicial review UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) khususnya pasal 34 yang menjadi penghambat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk dapat mengakses data Wajib Pajak dalam rangka audit secara utuh dan menyeluruh terhadap penerimaan pajak.
Akibat dari dirahasiakannya data Wajib Pajak
maka akuntabilitas dan transparansi pemungutan dan penerimaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sangat tidak bisa dipertanggung jawabkan dan berpotensi bahkan telah merugikan negara dalam jumlah yang sangat materiil.

Sebagaimana disebut di atas, salah satu alasan mengapa BPK memberikan opini disclaimer pada Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) adalah karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas penerimaan pajak yang merupakan porsi terbesar dari penerimaan negara. UU No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 1983 dan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa pemeriksaan pajak oleh BPK hanya boleh dilakukan dengan ijin tertulis dari Menteri Keuangan. Dalam realita, hampir tidak pernah Menteri Keuangan memberikan ijin untuk melakukan pemeriksaan pajak. Dengan demikian, Ditjen Pajak merupakan satu-satunya instansi negara yang berada di luar jangkauan pemeriksaan BPK. Dengan demikian BPK merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan di dunia yang tidak boleh memeriksa Ditjen Pajak negaranya sendiri. Terkait dengan kasus penggelapan, pencucian uang dan korupsi penerimaan pajak oleh pegawai Ditjen Pajak gayus tambunan menjadi sangat relevan mempertanyakan kerahasiaan data wajib pajak, agar dapat diakses oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam rangka melaksanakan audit penerimaan pajak.

Contoh kasus mafia pajak gayus tambunan yang memiliki Rp. 25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang dijadikan pidana dan disita negara sisanya tidak jelas. Sebagai perbandingan gaji PNS golongan III/A dengan masa jabatan 0 sampai 10 tahun hanya berkisar Rp.2,4 juta. Remunerasi Rp 8,2 juta, dan imbalan prestasi kerja rata-rata Rp.1,5 juta, jadi total gaji per bulan adalah Rp 12,1 juta. Apapun argumentasi dan resistensi yang timbul dari langkah untuk melakukan revisi atau judicial review UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP baik dari pihak Kementerian Keuangan, Mahkamah Konstitusi, atau bahkan DPR dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan pembiaran terjadinya tindak pidana korupsi penerimaan pajak.

Kasus gayus seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk masuknya BPK mengaudit Pajak dari sisi Wajib Pajak, dengan demikian akan tercapai transparansi dan akuntabilitas penerimaan pajak. Juga tidak kalah penting adalah terungkapnya kasus mafia pajak lainnya yang bercokol dengan kuat, dan mengakar di tubuh instansi Ditjen Pajak. Terlepas dari persoalan itu, kasus yang menimpa gayus sebagai tersangka dalam penggelapan dan penyelewengan pajak mencerminkan bahwa gaji yang tinggi di tubuh birokrasi negara tidak menjadi jaminan bersihnya seseorang dari skandal suap maupun korupsi. Kita bisa melihat bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kultur masyarakat yang sulit dihilangkan di kalangan aparat negara.

Sudah saatnya lembaga hukum dan aparat pajak di Indonesia melakukan perbaikan dan reformasi birokrasi secara total. Lembaga hukum yang diharapkan menjadi pelindung dan poros utama penegakan hukum, ternyata juga tidak lepas dari skandal suap maupun korupsi. Semakin menjamurnya praktik mafia hukum dan makelar yang kasus yang menimpa aparat negara menunjukkan potret hukum di negara kita masih suram, karena dibalik beberapa kasus yang mencuat juga melibatkan aparat hukum di negeri ini. Sungguh polemik ini menjadi naif dan mencerminkan kebobrokan moral bangsa di tengah himpitan persoalan kebangsaan yang semakin berkepanjangan.

Proses meningkatkan akuntabilitas kerap berjalan lambat karena budaya organisasi besar yang sering bergonta-ganti kebijakan. Konsekuensinya, peningkatan yang simultan dari transparansi harus dilakukan untuk memberdayakan perubahan birokrasi.

D. Kesimpulan

Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010, belanja negara yang dibiayai dari penerimaan perpajakan telah mencapai 71 persen. Sebaliknya, porsi pembiayaan dari utang luar negeri kian menyusut. Betapa perpajakan kian penting— yang menunjukkan bahwa kita semakin mandiri—terlihat juga dari porsinya yang mencapai 78 persen dari keseluruhan penerimaan negara.

Semenjak tahun 2002 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah meluncurkan program perubahan (change program) atau reformasi administrasi perpajakan yang secara singkat biasa disebut Modernisasi. Adapun jiwa dari program modernisasi ini adalah pelaksanaan good governance, yaitu penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal dan terkini. Strategi yang ditempuh adalah pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada para wajib pajak. Jika program modernisasi ini ditelaah secara mendalam, termasuk perubahan-perubahan yang telah, sedang, dan akan dilakukan, maka dapat dilihat bahwa konsep modernisasi ini merupakan suatu terobosan yang akan membawa perubahan yang cukup mendasar dan revolusioner.

Untuk mewujudkan itu semua, maka program reformasi adminsitrasi perpajakan perlu dirancang dan dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif. Perubahan-perubahan yang dilakukan meliputi bidang-bidang berikut:

à Struktur organisasi

à Business process dan teknologi informasi dan komunikasi

à Manajemen sumber daya manusia

à Pelaksanaan good governance

Usaha untuk melakukan reformasi di segala bidang telah membuahkan dasar-dasar perubahan di bidang manajemen pemerintahan. Hal tersebut antara lain diwujudkan dalam TAP MPR No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN dan UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang bersih dari KKN, yang menegaskan tekad bangsa Indonesia untuk senantiasa bersungguh-sungguh mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan Negara yang mempunyai dua tugas pokok yaitu penyelenggaraan pemerintahan umum dan tugas pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance. Dan untuk dapat mencapai penyelenggaraan pemerintahan Negara yang memenuhi kriteria good governance tersebut, diperlukan adanya pengawasan, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Internal auditor yang berwibawa dan profesional harus mampu memberikan tindakan-tindakan preventif untuk mencegah terjadinya KKN di lingkungan entitasnya

Jika kasus mafia hukum dan makelar kasus tidak segera diselesaikan secara tuntas dan akuntabel, maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum dan aparat pajak akan semakin tercemar dan buram. Kita bisa melihat dengan jelas bahwa skandal mafia hukum dan makelar kasus yang menimpa lembaga peradilan secara umum, tidak saja mempengaruhi citra mereka sebagai penegak hukum, tetapi juga berpotensi serius terhadap masa depan pembangunan bangsa ke depan. Jika citra penegak hukum kita semakin buram, maka akan terjadi apa yang kita sebut sebagai krisis kepercayaan masyarakat.
Krisis kepercayaan dapat dipahami sebagai bentuk kegagalan penegak hukum dalam membina kader-kadernya yang memiliki kredibilitas dan integritas. Sebagai bentuk kegagalan, penegak hukum seharusnya memiliki kesadaran dan kedewasaan politik, bahwa dalam menegakkan keadilan yang benar dan sehat harus diimbangi dengan kemampuan membangun kepercayaan kepada publik.



Lagu Kei "WATAT"

NEN NEN O DEN BE O, NEN NEN O DEN BE O TANAT NA HU DANG BO NA EN SAR O NEN O MATAM DAN BE O, NEN O MATAM DAN BE O UM VAL WAHAM DO FO MLI...